Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Sebagai orang tua, tentu kita sering mendengarkan ungkapan perasaan anak.
Entah itu tentang temannya di sekolah, rasa sakit akibat jatuh saat bermain, atau bahkan ketakutan tentang situasi tertentu, seperti misalnya kamar yang gelap gulita.
Hampir setiap hari kita mendengarkannya, tapi apakah kita benar-benar menyimaknya?
Lantas, bagaimana reaksi kita? Apakah memvalidasi atau malah menginvalidasi perasaan mereka?
Validasi emosi atau validasi perasaan artinya kita sebagai orang tua (ayah, ibu, bahkan om, tante) menyimak apapun ungkapan hati anak dan berupaya memahaminya.
Dalam validasi emosi, orang tua tidak hanya mendengar dan menyimak, tapi juga mengakui dan menerima apapun perasaan anak, meskipun orang tua tidak setuju terhadap ungkapan perasaan tersebut.
Sebaliknya, invalidasi emosi artinya sikap mengabaikan, meremehkan, dan menolak sebagai respons terhadap perasaan anak.
Sebagai contoh, ada seorang anak menangis karena diejek teman-temannya di sekolah.
Pernah kah Kawan Puan mendengar reaksi orang tua yang mengatakan, “Ah, begitu saja kok nangis, kamu jangan baperan. Dulu Mama kuat, lo, walaupun sering diejek teman-teman”?
Baca Juga: 6 Cara Berkomunikasi dengan Balita, Salah Satunya Validasi Perasaan
Maksud orang tua tersebut mungkin baik, yakni ingin menguatkan anaknya supaya tidak menangis.
Namun sikap semacam itu adalah bentuk contoh invalidasi dan bisa berdampak kurang baik terhadap perkembangan psikologis anak.
Reesa Sorin (2003) pernah meneliti tentang validasi perasaan anak dalam artikelnya yang berjudul Validating Young Children’s Feelings and Experiences of Fear.
Dalam riset tersebut, Sorin bahkan mewaspadai pesan-pesan seperti, “Tidak ada yang perlu ditakutkan,” atau “Jangan khawatir, kamu aman bersamaku,” yang masih dapat dikategorikan sebagai sikap menginvalidasi.
Bagi Sorin, hal pertama yang mesti dilakukan orang tua atau pengasuh adalah menempatkan diri di posisi si anak untuk memahami sungguh-sungguh apa yang menjadi ketakutan mereka.
Ketakutan yang kita atasi adalah ketakutan dalam pandangan psikologis anak, bukan dalam posisi kita sebagai orang dewasa.
Jika anak takut ada orang masuk rumahnya dan mencuri barang-barang, orang tua tidak bisa sesederhana mengatakan, “Lihat, tidak ada siapapun yang akan mencuri barang-barang kita! Semuanya aman, Nak.”
Mengatakan hal semacam itu artinya mengabaikan ketakutan dari sudut pandang anak dan berupaya mengatasi dari sudut pandang orang dewasa.
Jadi, apa yang mesti kita lakukan Kawan Puan?
Baca Juga: 3 Penyebab Ibu Gagal Sabar, Salah Satunya Tidak Memvalidasi Emosi
Empati adalah kunci. Dengan berempati, kita mencoba memahami lebih dalam apa yang mengganggu perasaan anak.
Untuk memperkuat empati, alangkah lebih baik jika disertai juga dengan diskusi terkait apa yang menjadi sumber ketakutan.
Langkah berikutnya yang bisa dilakukan adalah mengambil tindakan mengatasi ketakutan anak secara konkrit.
Misalnya, jika anak takut pada hantu, orang tua atau pengasuh bisa mengambil sapu dan melakukan gestur mengusir hantu secara sungguh-sungguh. Dengan demikian, anak tahu bahwa kita berada di pihaknya.
Melakukan validasi terhadap perasaan anak punya banyak keuntungan. Berikut manfaat validasi perasaan terhadap tumbuh kembang anak.
1. Kesehatan mental anak menjadi terjaga. Anak diberi bekal kepercayaan diri karena apapun perasaannya, ia selalu mendapat respons awal yang positif.
Kalaupun orang tua tampak kurang setuju terhadap perasaan anak, mereka selalu mengajak berdiskusi dan mendengar pendapat anak.
2. Anak juga mendapatkan rasa aman dari orang tuanya. Hubungan orang tua dan anak menjadi lebih erat karena terbiasa saling menguatkan.
3. Anak menjadi belajar untuk mengenali emosinya sendiri dan berupaya mencari solusi atas perasaan-perasaan tersebut. Hal ini berdampak pada peningkatan kecerdasan emosional pada anak.
Baca Juga: 3 Cara Mengajarkan Anak Mengekspresikan Perasaannya dengan Baik
Untuk memvalidasi perasaan anak, kita bisa contoh kalimat semacam, “Oh, pasti rasanya enggak enak banget, ya,” atau “Kamu pasti bingung banget, ya.”
Setelah itu, kita bisa menimpali secara sederhana tanpa menghakimi, tanpa langsung mengeluarkan nasihat-nasihat yang seringkali cenderung menganggap remeh keadaan.
Orang tua juga bisa menawarkan pelukan untuk menenangkan anak, tetapi tidak perlu memaksa jika anak sedang tidak ingin disentuh.
Untuk bisa memvalidasi perasaan anak ini tentu bukan hal sederhana bagi orang tua.
Orang tua sendiri mesti dalam kondisi tenang secara mental untuk bisa menyerap apapun ungkapan perasaan dari anak.
Itu sebabnya, biasakan tarik napas dan memberi jeda sebelum merespons.
Dalam berdiskusi dengan anak, pastikan suasana sekitar tengah kondusif dan anak merasa aman untuk menyampaikan apapun perasaannya.
Jangan terkesan reaktif dan terburu-buru, apalagi langsung menuntut anak agar segera mengungkapkan ganjalan di hatinya saat itu juga.
Kehati-hatian dalam merespons adalah faktor yang tak kalah penting dalam melakukan validasi.
Penting untuk diingat, bahwa segala ucapan yang keluar dari mulut kita sebagai respons, bisa jadi akan terpatri selamanya dalam perkembangan si anak. (*)