Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co – Hari-hari ini, masalah kesehatan mental pada remaja dianggap hampir lazim ditemukan di Indonesia.
Menurut Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), pada tahun 2022, 1 dari 3 remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental.
Data dari lembaga survei kesehatan mental nasional pertama yang ada di Indonesia itu menunjukkan bahwa masalah kesehatan mental bukanlah masalah sepele, sehingga perlu ditelusuri penyebabnya.
Tujuannya, tentu agar angka tersebut tak terus meningkat.
Salah satu masalah yang sering dilupakan, adalah pola pengasuhan keluarga yang bisa menyebabkan remaja mengalami persoalan kesehatan mental sejak anak-anak.
Artinya Kawan Puan, orang tua kerap lupa, bahwa cara mereka mendidik anak-anaknya sejak awal bisa menyebabkan stres dan trauma berkepanjangan.
Ini sering tidak dapat dikenali sejak dini. Baru diketahui saat tumbuh dewasa.
Pertanyaannya, pola asuh seperti apa saja yang berpotensi membuat anak mengalami gangguan kesehatan mental?
1. Kebiasaan orang tua dalam mengendalikan kemauan anak.
Anak tidak diberi peluang untuk memiliki kebebasan menentukan hal yang terbaik bagi dirinya.
Kebiasaan semacam itu membuat anak berkembang dalam keragu-raguan yang besar dalam pengambilan keputusan dan sering dihantui rasa takut.
Dampaknya, anak berkembang dalam rasa kurang percaya diri, yang bisa menyebabkan krisis mental serius di masa yang akan datang.
Poin kedua masih berkaitan dengan yang pertama, tetapi lebih pada hal penerapannya.
2. Sebagian orang tua merasa harus turut melakukan pembatasan kebebasan anak lewat disiplin yang keras.
Orang tua semacam ini membiarkan anak berada dalam rasa takut berkepanjangan hanya supaya mereka dapat patuh pada apapun kata orang tuanya.
Tidak jarang dari jenis pendisiplinan macam ini, timbul kekerasan verbal, bahkan fisik, yang meninggalkan jejak sepanjang hidup pada diri anak.
Poin ketiga lebih berkaitan pada penggunaan teknologi pada anak.
3. Tidak adanya batasan soal durasi menatap layar atau screen time.
Tak bisa dielakkan anak-anak hari ini sudah berkenalan dengan gadget sejak dini.
Baca Juga: Membangun Lingkungan yang Kondusif Bagi Kesehatan Mental Anak
Orang tua bahkan menjadikan gawai sebagai cara untuk menjaga anak-anaknya agar tidak rewel.
Rata-rata durasi pemakaian gawai itu sendiri bisa mencapai 7 hingga 8 jam per hari.
Meskipun sekilas bisa menghibur mereka, tetapi dampak jangka panjang gadget pada anak bisa berbahaya.
Anak bisa mengalami gangguan tidur, kemampuan motorik yang terhambat, bahkan bisa memicu obesitas dini.
Masalah screen time mesti disikapi oleh pembatasan pemberian gawai pada anak.
Orang tua tidak bisa sekadar melarang anak, melainkan harus mengajaknya untuk bermain dan bersenang-senang tanpa gawai.
Misalnya, lewat aktivitas di luar rumah seperti berolahraga atau berjalan-jalan di ruang terbuka.
Di samping itu, olahraga dan berjalan-jalan di ruang terbuka juga memiliki banyak manfaat positif untuk mengembangkan kemampuan motorik anak, mengasah kepekaan emosional, serta meningkatkan kedekatan dengan orang tua serta lingkungan.
Poin terakhir berikut ini penting untuk diingat, Kawan Puan.
Baca Juga: Hari Remaja Internasional, Ini Jenis Masalah Kesehatan Mental yang Kerap Terjadi pada Remaja
4. Orangtua lupa bahwa anak seringkali juga merasakan berbagai masalah mental yang dialami oleh orang tuanya.
Artinya, untuk bisa membuat anak terhindar dari gangguan kesehatan mental, para orang tua pun harus mampu mengatasi problem psikologis yang terjadi pada dirinya.
Jika orang tua mengalami stres atau depresi akibat masalah pekerjaan, misalnya, secara tidak disadari anak-anak bisa tertular kondisi tersebut meski orang tua sudah berusaha menutup-nutupi.
Dengan demikian, orang tua juga harus pintar-pintar mencari waktu menenangkan diri supaya lebih sehat secara mental saat berhadapan dengan anak.
Lebih jauh lagi, jangan sampai anak menjadi tempat pelampiasan stres yang dialami oleh orang tua.
Hal yang sering menyulitkan orang tua mengenali gangguan kesehatan mental pada anak, adalah kenyataan bahwa anak seringkali belum mampu mengekspresikan perasaannya dengan baik.
Saat melihat anak murung, sedih, dan bahkan marah, orang tua kerap menganggapnya sebagai gejolak emosi biasa dan bukan bibit dari masalah mental berkepanjangan.
Saatnya orang tua mengubah cara pandang seperti itu dan lebih hati-hati lagi dalam menerapkan pola asuh pada anak.
Bisa jadi pola asuh pada anak yang kelihatannya berhasil pada mulanya, akan menjadi masalah mental serius di kemudian hari.
Sebagai orang tua, tentu kita tak menginginkan hal itu, kan? (*)