Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Gelaran debat calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) resmi dimulai pada 12 Desember 2023.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahkan telah merilis tanggal untuk jadwal debat lengkap dengan topik-topik yang akan dibahas selama debat berlangsung.
Dari sekian banyak topik yang hendak diperdebatkan, tak satu topik pun yang dikhususkan untuk membahas perempuan dan persoalan-persoalannya!
Padahal isu tentang perempuan sudah sebegitu mendesaknya untuk menjadi perhatian paling penting dalam kebijakan-kebijakan publik arus utama.
Selama ini isu dan kepentingan perempuan hanya seperti dilekatkan pada isu lain yang dianggap penting.
Ketika berbicara tentang isu hak asasi manusia (HAM), yang mungkin menjadi top of mind dari isu ini adalah tentang intoleransi beragama atau pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Pelanggaran HAM tidak akan serta merta segera dikaitkan dengan semakin tingginya kasus pelecehan seksual dengan korban perempuan yang terjadi di dunia nyata dan daring.
Begitu juga apabila membahas persoalan kesehatan, yang kerap menjadi perhatian adalah tentang akses dan layanan kesehatan.
Namun akan jarang sekali yang mengedepankan isu seputar pendidikan sistem reproduksi ataupun membahas kesehatan perempuan ibu pasca-melahirkan.
Baca Juga: Bakal Digelar 5 Kali, Intip Tema Debat Capres yang Perlu Perempuan Memilih Tahu
Persoalan tentang perempuan selalu ada dalam topik apapun yang ingin dibahas: keuangan/finansial, kesejahteraan, politik, budaya, dan semuanya.
Namun sekali lagi, hal-hal yang berkaitan dengan perempuan hanya sebagai perlekatan pada isu-isu besar tersebut, dan bukan menjadi highlight.
Apabila diperinci, masalah-masalah perempuan sungguh begitu banyak untuk menjadi tinjauan dalam pengimplementasian kebijakan publik.
Ada kesetaraan gender dalam berbagai bidang seperti politik dan pencapaian karier, perlindungan dari pelecehan seksual, kesehatan mental, kesehatan perempuan ibu, perlindungan terhadap kejahatan di ruang domestik, perlindungan terhadap perempuan disabilitas, dan seabrek isu lainnya sebagai upaya untuk menghilangkan stigma dan prasangka gender yang masih melekat pada perempuan hingga hari ini.
Maka dari itu, tak pantas perdebatan capres-cawapres diselenggarakan bila persoalan perempuan tak menjadi persoalan yang dianggap sama pentingnya dengan persoalan infrakstruktur dan pemerataan ekonomi. What a shame!
Pentingnya Menempatkan Persoalan Perempuan Sebagai Isu Arus Utama
Betapa memalukan dan memilukan karena Pemilu 2024 diwarnai skandal dengan tidak terpenuhinya representasi kuota minimal 30% perempuan di beragam lini penyelenggaraan pemilu, mulai dari jumlah komisi penyelenggara pemilu, badan pengawasan pemilu, dan yang teranyar adalah adanya partai yang tak memiliki 30% calon anggota legislatif perempuan di sejumlah daerah pemilihan akibat imbas peraturan kunyuk KPU soal pembulatan ke bawah yang mengurangi kuota minimum perempuan dari 30%.
Nyatanya pada Pemilu 2024 mendatang, jumlah pemilih perempuan sedikit lebih banyak ketimbang pemilih laki-laki yakni sebanyak 102,58 juta orang dan memiliki persentase lebih dari 50%.
Dengan jumlah sebanyak ini, potensi suara pemilih perempuan bukan main-main.
Baca Juga: KPU Sebut Pemilih Perempuan Bakal Lebih Besar Dibanding Laki-Laki
Karena itu partai politik serta pasangan capres-cawapres semestinya mengistimewakan isu-isu perempuan, terutama karena perempuan memiliki kepentingan yang khas dan selama ini kurang dianggap penting jika dibandingkan dengan laki-laki.
Esensi mengedepankan kebutuhan-kebutuhan perempuan sebagai tajuk utama dalam membuat kebijakan publik yang ramah perempuan tidak hanya dipandang sebagai upaya mengakomodasi demokrasi yang dapat merepresentasikan kepentingan rakyatnya, namun juga sebagai konsekuensi pemerintah untuk memperbaiki kesejahteraan sosial.
Walaupun perempuan adalah golongan mayoritas dalam masyarakat, perempuan adalah kalangan yang paling sering dilanggar haknya dan mengalami ketidakadilan akibat prasangka gender.
Akibat kemampuan organ seksualnya, perempuan adalah pihak yang paling dituntut untuk meninggalkan ruang publik demi mengabdikan dirinya ke sektor domestik.
Maka perempuan rentan mengalami kekerasan sebab mereka diputus dari segala sumber daya yang dapat memberikan mereka kemerdekaan finansial dan otoritas untuk memutuskan.
Mengkhususkan kepentingan perempuan dalam program pemerintah dan mengimplementasikannya dalam kebijakan publik tak hanya menjadikan perempuan berdaya, tapi juga memberikan keuntungan ganda pada pemerintah.
Sebab apabila perempuan dan laki-laki sama-sama berdaya dalam meniti karier, tidakkah pemerintah akan mendapatkan pemasukan kas negara yang lebih besar akibat daya beli masyarakat yang sama besarnya?
Ketika perempuan dan laki-laki sama memiliki kejeniusan yang mampu memimpin ekspedisi ke ruang angkasa, wibawa dan kehormatan nama negara lah yang terangkat di mata masyarakat global.
Baca Juga: Menyambut Pemilu 2024, Mengapa Begitu Susah Memilih Perempuan?
Pasangan Capres-Cawapres Paling Pro Perempuan
Capres dan cawapres sudah mulai wara-wiri sejak akhir November silam dalam mengumandangkan program kerja dan visi-misinya.
Namun tak satupun yang spesifik mengkhususkan isu-isu perempuan sebagai prioritas kerjanya.
Mereka tampaknya lebih sibuk dengan gimmick politik yang menganjurkan semua masalah sosial diselesaikan dengan joget gemoy atau meminta saran dari komedian agar bisa berpidato dengan cara yang lebih ngebanyol.
Debat perdana capres pun masih tampak belum menunjukkan komitmen tentang implementasi pelanggaran hukum yang terjadi pada perempuan.
Satu dua kasus mengenai kekerasan terhadap perempuan, femicide, serta penyebutan perempuan sebagai salah satu kelompok rentan kelihatan lebih sekedar komoditas konten yang kurang bermakna ketimbang penjabaran yang eksploratif.
Mencuplik dari berita Tirto.id, tiga pasangan capres-cawapres telah membagikan sedikit gambaran mengenai komitmen mereka terhadap kepentingan perempuan apabila terpilih memimpin negeri ini kelak.
Dari cuplikan visi-misi terkait isu-isu perempuan, pasangan Ganjar-Mahfud lebih terperinci dalam penjabaran implementasi untuk meningkatkan kesetaraan gender.
Bahkan Ganjar-Mahfud memberikan afirmasi khusus pada perempuan agar bisa mendapatkan akses setara dengan laki-laki di bidang wirausaha, pendidikan, teknologi, dan kesehatan.
Adapun pasangan Anies-Muhaimin menginginkan agar perempuan memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya, serta meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik luar negeri nasional.
Pasangan ini pun ingin merekrut lebih banyak perwira tinggi TNI dan polisi perempuan serta menaikkan kuota penerimaan perempuan sebagai perwira TNI dan Polri.
Sedangkan pasangan Prabowo-Gibran tidak menjabarkan indikator pencapaian terhadap bentuk kesetaraan gender yang mereka gaungkan.
Masih sebatas slogan inisiatif untuk mendorong kebijakan agar melindungi kaum perempuan dan menjamin partisipasi perempuan dalam beragam bidang.
Tiga pasangan capres-cawapres ini tak secara komprehensif menggunakan analisis gender untuk menciptakan kebijakan publik yang pro perempuan. Oleh karena itu pembahasan tersendiri mengenai isu-isu perempuan semakin urgent.
Sebab satupun pasangan capres-cawapres dipastikan tak memiliki perspektif feminisme dan telah terbiasa menikmati privilase supremasi maskulinitas.
Jangan sampai lupa pula bahwa salah satu cawapres pernah bercanda dengan mengolok-olok istri bagaikan virus Corona yang tak bisa ditaklukkan. Seolah-olah narasi rumah tangga dibangun berdasarkan penaklukkan suami terhadap istrinya.
The Executive Summary
Singkat kata, lagi-lagi Pemilu 2024 masih belum mengakomodasi kepentingan perempuan dan mengedepankan kebutuhan perempuan.
Baca Juga: Capres Cawapres Pemilu 2024 Laki-Laki, Begini Tips Memilih Pemimpin Ramah Perempuan
Sebagaimana layaknya pemilu patriarkis lainnya, kepentingan perempuan dalam narasi politik dianggap tidak penting.
Meminjam istilah Simone de Beauvoir, perempuan hanyalah masyarakat kelas dua.
Politik yang patriarkis tidak akan pernah berubah jika perempuan tidak memilih perwakilan politik yang memihak pada kepentingan-kepentingan mereka. Namun gerakan itu harus dimulai.
Pilih partai politik yang maksimal memenuhi representasi perempuan dan memenuhi kuota minimal 30% perempuan.
Pilih politisi yang tidak merendahkan perempuan.
Pilih pasangan capres-cawapres yang jelas pro-perempuan! (*)