Kedua, faktor sosial yang membuat keluarga lebih mendukung anak laki-laki untuk bersekolah tinggi dibandingkan perempuan.
Terkait faktor sosial, di masyarakat masih ada stigma bahwa anak perempuan tidak harus bersekolah karena kodratnya menjadi istri dan ibu.
"Adanya konstruksi sosial ini menjadi masalah dari masa ke masa," papar Mia Siscawati.
"Bahkan, ketika perempuan dan laki-laki sudah berada dalam institusi pendidikan yang sama, diskriminasi gender yang disengaja maupun tidak masih banyak terjadi," imbuhnya.
Lebih lanjut, diskriminasi gender dalam dunia pendidikan menurut Mia terbagi menjadi tiga ranah, yakni individual, kultural, dan struktural.
Dari masalah struktural, bisa dilihat dari belum adanya fasilitas pendidikan yang memadai dan mendukung perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan.
Lalu dari segi kultural, masyarakat kita masih kerap menomorduakan anak perempuan walau tanpa mereka sadari.
Misalnya untuk olahraga atau aktivitas fisik yang berat, perempuan dianggap tidak semampu laki-laki.
Contoh paling sederhana adalah pemilihan ketua kelas atau OSIS, laki-laki lebih banyak direkomendasikan jadi pemimpin.
Baca Juga: Mitos dan Aspek Struktural: Kesenjangan Gender dari Hulu hingga Hilir