Parapuan.co - Debat calon presiden (capres) yang terakhir menjelang pemilihan umum (pemilu) 2024 akhirnya sukses dihelat pada Minggu, (4/2/2024).
Selama debat berlangsung, banyak isu seputar perempuan dan penyandang disabilitas yang dibahas.
Salah satu yang sempat disebut oleh capres Ganjar Pranowo adalah diskriminasi di dunia pendidikan.
Ganjar menyebut bahwa perempuan dan disabilitas masih mengalami diskriminasi, khususnya di ranah pendidikan.
"Pendidikan dan kebudayaan mesti kita bangun bersama-sama. Akses pendidikan yang baik, lebih inklusi, kurikulum yang mantap, dan fasilitas yang diberikan," papar Ganjar.
"Kalau ini bisa berjalan dengan baik, maka perempuan dan penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan yang inklusi dan tidak mendapatkan perlakuan diskriminatif," imbuhnya.
Sementara itu, Mia Siscawati, Ketua Program Studi Kajian Gender Universitas Indonesia (UI) pernah menyampaikan penyebab ketidaksetaraan tersebut.
Mengutip Kompas.com, pada Mei 2023 lalu Mia Siscawati memberi pernyataan tentang dua faktor utama penyebab ketidaksetaraan dalam dunia pendidikan di Indonesia.
Pertama, faktor ekonomi di mana banyak anak terpaksa berhenti sekolah demi membantu keuangan keluarga.
Baca Juga: Menurut Survei, Ini 9 Fakta Pandangan Perempuan Asia Soal Kesetaraan di Dunia Kerja
Kedua, faktor sosial yang membuat keluarga lebih mendukung anak laki-laki untuk bersekolah tinggi dibandingkan perempuan.
Terkait faktor sosial, di masyarakat masih ada stigma bahwa anak perempuan tidak harus bersekolah karena kodratnya menjadi istri dan ibu.
"Adanya konstruksi sosial ini menjadi masalah dari masa ke masa," papar Mia Siscawati.
"Bahkan, ketika perempuan dan laki-laki sudah berada dalam institusi pendidikan yang sama, diskriminasi gender yang disengaja maupun tidak masih banyak terjadi," imbuhnya.
Lebih lanjut, diskriminasi gender dalam dunia pendidikan menurut Mia terbagi menjadi tiga ranah, yakni individual, kultural, dan struktural.
Dari masalah struktural, bisa dilihat dari belum adanya fasilitas pendidikan yang memadai dan mendukung perbedaan kebutuhan antara laki-laki dan perempuan.
Lalu dari segi kultural, masyarakat kita masih kerap menomorduakan anak perempuan walau tanpa mereka sadari.
Misalnya untuk olahraga atau aktivitas fisik yang berat, perempuan dianggap tidak semampu laki-laki.
Contoh paling sederhana adalah pemilihan ketua kelas atau OSIS, laki-laki lebih banyak direkomendasikan jadi pemimpin.
Baca Juga: Mitos dan Aspek Struktural: Kesenjangan Gender dari Hulu hingga Hilir
Sedangkan perempuan, posisi paling tinggi di organisasi yang dapat diraih biasanya sebagai wakil.
Problematika struktural dan kultural tersebut sering dinormalisasi melalui internalisasi pada individu.
Oleh karena ketiga ranah di atas, masalah ketidaksetaraan perlu dituntaskan dengan melibatkan peran dari berbagai pihak.
Mulai dari masyarakat, penyelenggara pendidikan, pendidik, pemerintah, dan pihak-pihak berkepentingan lainnya.
Salah satu caranya bisa dimulai dengan memberikan edukasi atau penyuluhan ke masyarakat bahwa pendidikan tidak memandang gender.
"Yang harus ambil bagian itu semua yang ada di tingkat individual. Apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara untuk mendukung?" Ujar Mia.
"Kalau kita orang tua, harus memikirkan bahwa anak-anak memang harus lanjut sekolah," imbuhnya lagi.
Demikian tadi penyebab adanya ketidaksetaraan di dunia pendidikan Tanah Air.
Semoga informasi di atas bermanfaat dan menambah wawasan, ya.
Baca Juga: 3 Alasan Perempuan Perlu Berpendidikan Tinggi, Terutama Jika Ingin Jadi Ibu
(*)