Karenanya, dalam memandang krisis iklim, kita tidak bisa melihatnya dari satu sudut pandang saja. Ada banyak lapisan perempuan yang punya keresahan berbeda dan tentu membutuhkan solusi yang berbeda.
"Dampak pada perempuan ada lapis-lapisnya. Misalnya polusi aja sebagai contoh, pada perempuan hamil dampaknya lebih besar, dan lebih besar lagi pada perempuan secara sosial ekonomi di bawah,"
"Setiap elemen pada perempuan harus kita lihat, perempuan nelayan, perempuan petani, perempuan muda. Kita mesti melihat secara kritis," tambah Alin.
Ancaman Kekerasan Gender
Krisis iklim juga membawa dampak pada meningkatnya potensi kekerasan gender, terutama di negara yang rawan terjadi bencana.
Saat terjadi bencana, banyak warga yang harus mengungsi termasuk perempuan-perempuan. Saat itulah potensi kekerasan gender meningkat.
Alin menjelaskan, "bencana di Indonesia itu bencana iklim. Dalam setiap bencana dan pengungsi, ada banyak temuan ketika terjadi bencana dan mengungsi ada kekerasan dialami perempuan di pengungsian."
Hal itu tentu jadi pekerjaan rumah yang tak mudah. Perempuan sebagai kelompok rentan tak boleh melemahkan dirinya sendiri.
Memang, ada banyak risiko dan tantangan berat yang harus kita hadapi, namun bukan berarti asa itu tak ada.
Di Hari Perempuan Internasional ini, kita sebagai perempuan harus menyadari bahwa kita kuat dan berdaya, meski sering dipandang sebelah mata.
Alin menambahkan, bahwa sebagai perempuan, kita harus menghargai setiap pengalaman yang kita alami. Sebab, pengalaman-pengalaman itulah yang membuat kita kuat.
"Pengalaman setiap perempuan itu penting untuk kita kenali. Itu lebih kuat," kata Alin.
Dengan menghargai pengalaman itu, setiap perempuan bisa menyuarakan keresahannya dan bersama-sama mencari jalan keluar dari masalah yang ada.
Selamat Hari Perempuan Internasional, Kawan Puan!
Baca Juga: Tema Hari Perempuan Internasional 2024: Wujudkan Kesetaraan Gender di Berbagai Aspek
(*)