Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Sayangnya, lekatnya budaya patriarki di Indonesia hanya mengasosiasikan ketegasan dan kewibawaan sebagai sifat yang ada pada laki-laki.
Perempuan yang lebih berjiwa pengayoman (nurture) dan welas asih dinilai tak mampu menangani persoalan-persoalan yang “keras” seperti ekonomi, keamanan dan pertahanan negara, atau kebijakan luar negeri.
Hambatan kultural terhadap perempuan inilah yang selalu membuat kita dipandang sebelah mata untuk menjadi pemimpin eksekutif tertinggi di level nasional dan regional, bahkan sebagai representasi masyarakat di lembaga legislatif.
Padahal dekade awal 2020-an telah menunjukkan ketangguhan dan keberhasilan negara-negara dalam menghadapi pandemi global Covid-19 karena negara-negara tersebut dipimpin oleh perempuan (Harvard Business Review, 2020).
Tentunya persoalan negara saat diserang virus Corona bukan hanya bercokol tentang kesehatan; melainkan juga stabilitas nasional, penguatan ekonomi, kesejahteraan sosial, bahkan persoalan tentang keamanan dan pertahanan negara.
Jadi jika kepemimpinan perempuan dikaitkan dengan kondisi emosional perempuan, sungguh mereka merupakan manusia purba Pithecanthropus erectus yang masih belajar berjalan menggunakan kaki dan mengabaikan tuntutan global dalam menciptakan kesetaraan gender.
Anarkisme dan Feminisme yang Beriringan
Rentetan peristiwa yang mewarnai Pemilu 2024 telah menunjukkan pada masyarakat bahwa penyelenggara negara sudah tak memiliki malu dalam melanggar aturan di depan rakyatnya sendiri.
Eksistensi hukum tak mampu memberikan kepastian kepada rakyat karena dapat diotak-atik dan disesuaikan dengan kepentingan politik tertentu.
Baca Juga: Menempatkan Kepentingan Perempuan dalam Program Pemilihan Presiden