Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Prolog: Kisah Sedih Perempuan di Hari Pemilu
Perayaan Hari Perempuan Internasional di Indonesia tahun ini sungguh memilukan.
Di tengah maraknya upaya peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik di kancah global, Indonesia malah terhempas kembali ke jurang kebodohan patriarki primitif.
Bermula dari kebodohan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang tidak dapat menafsirkan apa artinya kuota afirmasi minimal 30% bagi representasi perempuan sebagai calon anggota legislatif (caleg) sesuai amanat Undang-Undang No.7/2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), baik di tingkat nasional maupun regional.
Dengan santainya, para komisioner KPU membuat peraturan absurd tentang pembulatan ke bawah yang mengakibatkan pencalonan anggota legislatif perempuan berkurang dari 30%.
Kepandiran KPU diperparah dengan memaknai representasi 30% dipandang dalam ruang lingkup secara keseluruhan, bukan per daerah pemilihan (dapil) sesuai yang diwajibkan undang-undang.
Aturan idiot itu tentu saja mendapat perlawanan.
Mahkamah Agung pada akhirnya mendesak agar KPU mengubah aturan bodoh tersebut (PKPU Nomor 10 Tahun 2023 -Red.) yang berpeluang menghambat keterwakilan perempuan di parlemen.
Namun hingga hari pencoblosan tiba, KPU tak kunjung meralat kepandirannya.
Baca Juga: Pemilu 2024 dan Penurunan Partisipasi Perempuan dalam Politik
Efeknya, dari 24 partai peserta pemilu, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memenuhi persyaratan administrasi sesuai amanat UU Pemilu dengan menempatkan 30% caleg perempuan di seluruh 84 dapil.
Sementara partai-partai lainnya malah ada yang tidak memenuhi kuota minimal 30% caleg perempuan di lebih dari 20 dapil.
Harusnya!
Partai-partai yang tidak berhasil memenuhi minimal kuota 30% caleg perempuan di sekian banyak dapil tersebut dianulir dan tidak berhak ikut pemilu. Sebab telah melanggar undang-undang.
Nyatanya, tak satupun dari partai pelanggar undang-undang itu yang ditegur untuk merevisi daftar calegnya agar memenuhi kewajiban minimal 30% representasi perempuan di setiap dapil. Partai-partai tersebut bahkan tidak dilarang ikut pemilu.
Malangnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun berkelakuan mencla-mencle dengan hanya menetapkan KPU telah melanggar administrasi karena membiarkan 23 partai tidak memenuhi persyaratan kuota minimum 30% caleg perempuan di setiap dapil.
Namun tindakan lebih lanjut untuk melarang partai-partai pelanggar UU Pemilu tersebut untuk ikut pemilu legislatif, tanpa merevisi ketetapan minimal 30% caleg perempuan, tidak pernah dilakukan.
Memalukan!
Hambatan Kultural Cegah Perempuan Menduduki Kursi di Senayan
Dalam konteks situasi global yang sedang tak menentu, baik dari segi finansial yang diprediksi akan mengalami resesi, situasi konflik peperangan yang belum selesai antara Rusia-Ukraina, dan kini ditambah pula dengan genosida rakyat Palestina yang memicu pemboikotan sejumlah brand pro-Zionis, kepemimpinan yang tegas dan berwibawa sangat dibutuhkan untuk mempertahankan stabilitas di dalam negeri.
Baca Juga: Pemilu 2024 dan Identitas Politik Perempuan yang Kerap Termarjinalkan
Sayangnya, lekatnya budaya patriarki di Indonesia hanya mengasosiasikan ketegasan dan kewibawaan sebagai sifat yang ada pada laki-laki.
Perempuan yang lebih berjiwa pengayoman (nurture) dan welas asih dinilai tak mampu menangani persoalan-persoalan yang “keras” seperti ekonomi, keamanan dan pertahanan negara, atau kebijakan luar negeri.
Hambatan kultural terhadap perempuan inilah yang selalu membuat kita dipandang sebelah mata untuk menjadi pemimpin eksekutif tertinggi di level nasional dan regional, bahkan sebagai representasi masyarakat di lembaga legislatif.
Padahal dekade awal 2020-an telah menunjukkan ketangguhan dan keberhasilan negara-negara dalam menghadapi pandemi global Covid-19 karena negara-negara tersebut dipimpin oleh perempuan (Harvard Business Review, 2020).
Tentunya persoalan negara saat diserang virus Corona bukan hanya bercokol tentang kesehatan; melainkan juga stabilitas nasional, penguatan ekonomi, kesejahteraan sosial, bahkan persoalan tentang keamanan dan pertahanan negara.
Jadi jika kepemimpinan perempuan dikaitkan dengan kondisi emosional perempuan, sungguh mereka merupakan manusia purba Pithecanthropus erectus yang masih belajar berjalan menggunakan kaki dan mengabaikan tuntutan global dalam menciptakan kesetaraan gender.
Anarkisme dan Feminisme yang Beriringan
Rentetan peristiwa yang mewarnai Pemilu 2024 telah menunjukkan pada masyarakat bahwa penyelenggara negara sudah tak memiliki malu dalam melanggar aturan di depan rakyatnya sendiri.
Eksistensi hukum tak mampu memberikan kepastian kepada rakyat karena dapat diotak-atik dan disesuaikan dengan kepentingan politik tertentu.
Baca Juga: Menempatkan Kepentingan Perempuan dalam Program Pemilihan Presiden
Oleh karenanya, anarkisme rakyat diperlukan dalam konteks penyelenggara negara sudah tak mampu lagi dipercaya dan diserahkan tanggung jawab mengelola negara.
Anarki selalu disalahartikan sebagai tindakan orang-orang yang merusak. Padahal tindakan pengrusakan itu disebut dengan vandalisme.
Seperti halnya demokrasi, anarki sejatinya adalah sebuah paham tentang ketiadaan otoritas dan ketidakcakapan otoritas tersebut dalam menengahi perselisihan dan menegakkan supremasi hukum (Britannica Encyclopedia).
Dalam konteks penyelenggaraan Pemilu 2024, di mana pemimpin tertinggi negara tak memiliki kecakapan untuk menengahi polemik yang muncul akibat ambisi dinasti politik, hingga ketidakmampuan KPU dan Bawaslu dalam mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pemilu, menunjukkan kondisi negara ini perlu dianarkikan karena terbukti negara dan lembaga negara abstain dalam menegakkan demokrasi.
Anarkisme mengedepankan pada free society dan kerelaan individual untuk saling menjaga, menghargai, dan mendistribusikan kekuasaan secara setara dan bebas (Kropotkin, 1910).
Pada tataran ideal, anarkisme dapat menciptakan masyarakat perempuan dan laki-laki yang saling bekerja sama secara setara tanpa adanya subordinasi dan dominansi di satu pihak tertentu (Ackelsberg, 2016).
Keberadaan pemerintah dan lembaga penyelenggara pemerintahan, termasuk partai politik, kerap melanggengkan dominansi patriarki yang tidak memihak pada kepentingan perempuan dan mengabaikan kesetaraan gender, utamanya dalam politik.
Maka anarki bisa menjadi salah satu alternatif utopis untuk menciptakan kesetaraan gender dan melawan stereotip gender.
Baca Juga: Memerangi Bias, Ini Tantangan Perempuan di Sektor Keamanan dan Pertahanan
Menumbuhkan Spirit Anarkisme Dalam Perkumpulan Perempuan
Indonesia menjadi anarkisme memang tidak mungkin. Sebab cita-cita awal pendiri bangsa ini adalah menjadi negara kesatuan.
Seburuk-buruknya penyelenggara pemerintah, rakyat Indonesia setia mendukung demokrasi.
Namun demikian, rakyat Indonesia (terutama perempuan) dapat menerapkan spirit anarkisme sebagai sikap politik mereka.
Keberhasilan itu pernah terjadi di Spanyol pasca Perang Sipil (1936-1939) lewat manifestasi Mujeres Libres, sebuah gerakan yang berhasil menghimpun hingga 20.000 perempuan untuk memperjuangkan kebebasan mereka secara politik (Hastings, 2016).
Maka spirit anarkisme dalam diri perempuan dapat diejawantahkan lewat pembentukan kelompok dan gerakan perempuan yang bisa saling menguatkan, mengajarkan, dan membimbing perempuan-perempuan untuk memiliki skill dan pengetahuan politik.
Perempuan-perempuan yang saling memberdayakan akan menghasilkan perempuan-perempuan cerdas, berdaya, dan berani untuk melawan ketidakadilan.
Saat kepentingan perempuan tidak dapat diakomodasi oleh negara, para perempuan maju melawan bersama.
Semangat Hari Perempuan Internasional di tahun ini adalah untuk menyadarkan perempuan tentang betapa pentingnya untuk saling bersama dan mendukung agar dapat memiliki andil politik yang besar untuk mengubah sistem politik yang kerap tidak memihak perempuan.
Baca Juga: Tema Hari Perempuan Internasional 2024: Wujudkan Kesetaraan Gender di Berbagai Aspek
Mengutip dari frasa terkenal Wiji Thukul: Hanya ada satu kata: Lawan!
Lawan partai politik yang tidak memberikan representasi sebagaimana seharusnya lewat boikot dan berhenti memilih partai tersebut!
Lawan sistem sosial yang patriarkis dengan cara mengajarkan generasi muda dan anak laki-laki kita untuk menghormati dan menghargai kesetaraan peran dengan perempuan!
Lawan segala kebijakan pemerintah yang menyudutkan perempuan!
Lawan stereotip gender dengan mengajarkan generasi muda perempuan untuk memiliki standar dan mimpi paling tinggi setinggi yang mereka inginkan!
Lawan! Dan perempuan-perempuan melawan bersama.
Selamat Hari Perempuan Internasional, Kawan Puan! (*)
Baca Juga: 4 Tipe Perempuan dalam Mewujudkan Mimpi, Kamu yang Mana, Kawan Puan?