Review Film Possession: Kerasukan, Potret Perempuan Terbelenggu dalam Budaya Patriarki

Rizka Rachmania - Rabu, 8 Mei 2024
Review film Possession: Kerasukan, perempuan selalu jadi korban di dunia yang patriarki.
Review film Possession: Kerasukan, perempuan selalu jadi korban di dunia yang patriarki. Dok. Falcon Black

Budaya Patriarki Melemahkan Posisi Perempuan

Ratna yang tak punya otoritas terhadap tubuhnya sendiri di depan suami, terus dibayangi oleh ancaman kekerasan seksual dari tetangganya serta laki-laki yang diutus untuk membuntutinya, menunjukkan betapa lemahnya posisi dia.

Posisi lemah Ratna di dunia yang patriarki juga ditunjukkan dalam hal pekerjaannya, atasannya di tempat kerja hanya memanfaatkannya untuk menghasilkan uang.

Tak peduli bagaimana pun kondisi Ratna, atasan Ratna yang laki-laki itu terus memintanya untuk menulis naskah, mengeluarkan ide-ide cemerlang untuk alur cerita yang memuaskan.

Ratna dieksploitasi dalam urusan pekerjaan, bekerja siang malam tanpa henti hanya demi memenuhi ekspektasi sang atasan untuk membuat naskah drama teater yang ciamik.

Perempuan digambarkan dalam posisi yang lemah, tidak bisa melawan, hanya bisa menerima semua perlakuan dari para lelaki.

Bahkan ketika Ratna naik taksi dan sang supir menuduhnya sebagai 'perempuan malam', akan melayani pelanggan di hotel, ia awalnya dipotret sebagai perempuan yang diam saja.

Bahaya budaya patriarki yang mengancam perempuan pun mengakibatkan perseteruan antar karakter perempuan.

Dua karakter perempuan dalam film ini berseteru memperebutkan satu laki-laki, menunjukkan bagaimana laki-laki sangat diagungkan, sosok yang dikejar dan didambakan oleh perempuan.

Perempuan saling menjatuhkan perempuan disebabkan oleh budaya dan sistem patriarki yang secara sadar atau tidak sadar memaksa perempuan untuk terus saling bersaing.

Lagi-lagi persaingan antar perempuan di film ini juga dalam hal seksual, soal siapa yang lebih bisa memuaskan Faris, apakah Ratna atau Mita (Sara Fajira) rekan Ratna di teater.

Ketika Ratna melawan semua hal yang membelenggunya, untuk meraih kebebasan, mewujudkan impiannya untuk hidup bebas punya otoritas, semua itu dianggap sebagai perlawanan, bahkan kerasukan.

Toni, Faris, laki-laki yang diutus untuk membuntuti Ratna, dan atasan Ratna, semua percaya bahwa Ratna kerasukan setan karena berani melawan mereka, memberontak, dan ingin terbebas dari hal-hal yang selama ini ia rasa membelenggunya.

Ratna bahkan dianggap sedang bersetubuh dengan setan saat dirinya melakukan eksplorasi seksual pada tubuh dan dirinya sendiri, serta menolak berhubungan badan dengan suaminya.

Saat Ratna mengekspresikan seksualitasnya, menunjukkan cara lain untuk memuaskan dirinya sendiri, hal tersebut dianggap sebagai kerasukan oleh para lelaki, sebuah hal yang sangat merendahkan perempuan.

Anne Helen Petersen (2017) dalam bukunya Too Fat, Too Slutty, Too Loud: The Rise and Reign of The Unruly Woman mengatakan, penyematan label/julukan rendahan pada perempuan yang mengekspresikan seksualitas adalah upaya untuk mendiskreditkan perempuan agar berhenti memiliki otonomi dan spontanitas atas ekspresi seksual.

Potret karakter perempuan Ratna yang terbelenggu dalam dunia dan budaya patriarki dalam film Possession: Kerasukan pun makin diperkuat dengan original soundtrack berjudul "Sabda Alam" yang dinyanyikan oleh Danilla Riyadi bersama Rahara.

Lirik ikonik dalam lagu itu adalah: Ditakdirkan bahwa pria berkuasa//Adapun wanita lemah, lembut, manja//Wanita dijajah pria sejak dulu//Dijadikan perhiasan sangkar madu.

Untungnya, ending film Possession: Kerasukan sangat memuaskan, setidaknya begitu menurut PARAPUAN yang sudah menontonnya, very liberating bagi Ratna dan para perempuan lain pada umumnya.

Ada kata-kata dari Lele Laila sang penulis naskah yang PARAPUAN suka juga mengenai ending dari film Possession: Kerasukan:

"Ratna itu sudah menjelaskan, setan itu pikiran kamu sendiri, misalnya kita mikir lagi, sebenarnya siapa yang memulai bahwa Ratna dirasuki, itu kan dari otaknya semua laki-laki yang ada di situ semua, dia selingkuh, semua itu datang bukan dari perempuannya tapi dari laki-lakinya.

"Jangan-jangan ada yang lebih menyeramkan daripada setan, pikiran laki-laki.

"Tapi kalau misalnya kita masih merasa jangan-jangan perempuannya yang salah, di situlah kita jangan-jangan memang selalu merasa perempuan salah."

Baca Juga: Mengenal Female Gaze, Cara Lensa Perempuan Memandang Dunia dalam Film

(*)

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania


REKOMENDASI HARI INI

Supermarket hingga Bakery, Ini Destinasi Belanja Lengkap di Bekasi