Review Film Possession: Kerasukan, Potret Perempuan Terbelenggu dalam Budaya Patriarki

Rizka Rachmania - Rabu, 8 Mei 2024
Review film Possession: Kerasukan, perempuan selalu jadi korban di dunia yang patriarki.
Review film Possession: Kerasukan, perempuan selalu jadi korban di dunia yang patriarki. Dok. Falcon Black

Parapuan.co - Di dalam dunia yang patriarki, perempuan adalah sosok kelas dua, yang posisinya berada di bawah laki-laki.

Patriarki merupakan konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan, otoritas, kekuatan, dan kontrol.

Budaya patriarki memengaruhi pola pikir masyarakat, sehingga mereka akan berpikir bahwa laki-laki mendominasi dan menguasai.

Sementara di sisi yang lain, perempuan akan selalu dirugikan, dieksploitasi, dan diposisikan pada status yang lebih rendah daripada laki-laki.

Bonnie Burstow dalam bukunya Radical Feminist Therapy: Working in the Context of Violence (1992) pernah menuliskan," Laki-laki memandang perempuan dari sudut pandangnya, dan mereduksi perempuan menjadi makhluk yang bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk laki-laki."

Apa yang ditulis oleh Bonnie Burstow bisa Kawan Puan lihat contohnya melalui film Possession: Kerasukan, garapan sutradara Razka Robby Ertanto, penulis naskah Lele Laila, dan rumah produksi Falcon Black.

Dalam film yang diadaptasi dari film Prancis berjudul Possession tayang 1981 tersebut, karakter perempuan Ratna yang diperankan oleh Carissa Perusset merupakan korban dari budaya patriarki.

Terpotret jelas dalam film Possession: Kerasukan, Ratna hidup terbelenggu dalam dunia yang patriarki, membuat dirinya selalu menjadi korban dari sekian banyak laki-laki yang ada di sekitarnya.

"Kamu yang membuat saya tidak berdaya. Kamu dan pikiranmu adalah setan," ucap Ratna dalam film Possession: Kerasukan. Sebuah dialog yang membuat penonton berpikir, benarkah Ratna benar kerasukan, atau semua kegilaan tersebut adalah imajinasi para laki-laki di sekelilingnya.

Baca Juga: Sinopsis Film Possession: Kerasukan, Impian Perempuan untuk Terbebas dari Dunia yang Patriarki

Perempuan Rentan Alami KDRT

Ratna adalah seorang ibu rumah tangga sekaligus penulis naskah drama teater, dengan suami seorang TNI yang sering absen di rumah untuk menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

Sepulang bertugas berbulan-bulan, satu hal yang diinginkan Faris (Darius Sinathrya) dari Ratna adalah seks, alias hubungan seksual dengan dalih dirinya sudah lama tidak mendapat 'jatah' dari istrinya.

Ratna sebagai perempuan seolah hanya dipandang sebagai objek seksual, pemuas nafsu laki-laki dengan dalih hal tersebut sudah jadi kewajiban seorang istri pada suami.

Bukan hanya Faris yang memandang Ratna sebagai objek seksual dan pemuas nafsu, bahkan komandan Faris pun langsung melontarkan candaan tentang berapa 'ronde' yang akan dilakukan oleh Faris dan Ratna.

Di dunia yang patriarki, perempuan memang kerap dipandang hanya sebagai pemuas nafsu laki-laki, tidak punya pilihan maupun otoritas terhadap tubuhnya. Perempuan, apalagi istri, tidak boleh menolak, wajibnya adalah menurut.

Ratna di film ini sudah menolak berhubungan badan dengan Faris, namun suaminya itu tetap memaksanya, sehingga hal tersebut sebenarnya masuk ke ranah kekerasan dalam rumah tangga, sebuah kekerasan seksual.

Ia terus dipaksa oleh Faris untuk melayani nafsunya, meski sebenarnya ia enggan berhubungan badan. Ratna sudah memberikan alasan bahwa harus menyelesaikan tulisannya untuk pementasan. Akan tetapi Faris abai.

"Laki-laki biasanya memiliki pandangan yang menempatkan perempuan sebagai objek seksual. Perempuan dan anak bukan objek seksual. Seharusnya setiap orang mempunyai pandangan bahwa setiap orang memiliki otoritas terhadap tubuhnya sendiri dan tidak berhak untuk dilecehkan," ucap Berkah Gamulya, Sindikat Musik Penghuni Bumi (SIMPONI) yang kerap menyuarakan isu perempuan, melansir dari Kompas.com.

Baca Juga: Mencari Korban Sebenarnya dari Film Dear David yang Tayang di Netflix

Perempuan Selalu Jadi Objek Seksual Laki-Laki

Sungguh sial nasib Ratna dalam film Possession: Kerasukan. Dia benar-benar terbelenggu dalam dunia yang patriarki, semua laki-laki memandangnya sebagai objek seksual.

Setelah suami dan komandan sang suami, tetangga tempat tinggalnya, seorang laki-laki tua yang sudah usia senja, ternyata juga mengincarnya sebagai objek pemuas nafsu.

Laki-laki tua yang hobi membaca majalah mistis dan menyukai ritual mistis itu pun selama ini mencari kesempatan untuk memerkosa Ratna yang sering ditinggal suaminya bertugas, hanya berdua dengan anak laki-lakinya saja.

Toni (Arswendy Bening Swara), kakek tua tetangga Ratna, memberikan ide pada Faris bahwa istrinya itu kerasukan, diikuti sosok gaib tak kasat mata, sehingga perangainya berubah.

Sebuah ritual yang dicetuskan oleh Toni untuk menyelamatkan Ratna dari makhluk halus yang merasukinya pun sebenarnya adalah cara baginya untuk berkesempatan memerkosa Ratna.

Ditambah lagi, laki-laki yang diutus oleh Faris untuk mengikuti dan menyelidiki Ratna juga mencari dan mencuri kesempatan untuk menikmati tubuh Ratna saat perempuan itu dianggap sedang kerasukan, tak sadar akan hal yang terjadi padanya.

Semua ide tentang Ratna yang kerasukan makhluk gaib sebenarnya adalah imajinasi dan pikiran penuh nafsu dari semua laki-laki yang ada di sekitar perempuan itu.

"Tidak ada setan di dalam situ. Setan adalah di dalam kalian," bunyi dialog Ratna saat Toni menjalankan ritual klenik, namun berujung pada upayanya untuk memerkosa Ratna.

Baca Juga: Mengenal Male Gaze, Cara Lensa Laki-Laki Memandang Perempuan dalam Film

Budaya Patriarki Melemahkan Posisi Perempuan

Ratna yang tak punya otoritas terhadap tubuhnya sendiri di depan suami, terus dibayangi oleh ancaman kekerasan seksual dari tetangganya serta laki-laki yang diutus untuk membuntutinya, menunjukkan betapa lemahnya posisi dia.

Posisi lemah Ratna di dunia yang patriarki juga ditunjukkan dalam hal pekerjaannya, atasannya di tempat kerja hanya memanfaatkannya untuk menghasilkan uang.

Tak peduli bagaimana pun kondisi Ratna, atasan Ratna yang laki-laki itu terus memintanya untuk menulis naskah, mengeluarkan ide-ide cemerlang untuk alur cerita yang memuaskan.

Ratna dieksploitasi dalam urusan pekerjaan, bekerja siang malam tanpa henti hanya demi memenuhi ekspektasi sang atasan untuk membuat naskah drama teater yang ciamik.

Perempuan digambarkan dalam posisi yang lemah, tidak bisa melawan, hanya bisa menerima semua perlakuan dari para lelaki.

Bahkan ketika Ratna naik taksi dan sang supir menuduhnya sebagai 'perempuan malam', akan melayani pelanggan di hotel, ia awalnya dipotret sebagai perempuan yang diam saja.

Bahaya budaya patriarki yang mengancam perempuan pun mengakibatkan perseteruan antar karakter perempuan.

Dua karakter perempuan dalam film ini berseteru memperebutkan satu laki-laki, menunjukkan bagaimana laki-laki sangat diagungkan, sosok yang dikejar dan didambakan oleh perempuan.

Perempuan saling menjatuhkan perempuan disebabkan oleh budaya dan sistem patriarki yang secara sadar atau tidak sadar memaksa perempuan untuk terus saling bersaing.

Lagi-lagi persaingan antar perempuan di film ini juga dalam hal seksual, soal siapa yang lebih bisa memuaskan Faris, apakah Ratna atau Mita (Sara Fajira) rekan Ratna di teater.

Ketika Ratna melawan semua hal yang membelenggunya, untuk meraih kebebasan, mewujudkan impiannya untuk hidup bebas punya otoritas, semua itu dianggap sebagai perlawanan, bahkan kerasukan.

Toni, Faris, laki-laki yang diutus untuk membuntuti Ratna, dan atasan Ratna, semua percaya bahwa Ratna kerasukan setan karena berani melawan mereka, memberontak, dan ingin terbebas dari hal-hal yang selama ini ia rasa membelenggunya.

Ratna bahkan dianggap sedang bersetubuh dengan setan saat dirinya melakukan eksplorasi seksual pada tubuh dan dirinya sendiri, serta menolak berhubungan badan dengan suaminya.

Saat Ratna mengekspresikan seksualitasnya, menunjukkan cara lain untuk memuaskan dirinya sendiri, hal tersebut dianggap sebagai kerasukan oleh para lelaki, sebuah hal yang sangat merendahkan perempuan.

Anne Helen Petersen (2017) dalam bukunya Too Fat, Too Slutty, Too Loud: The Rise and Reign of The Unruly Woman mengatakan, penyematan label/julukan rendahan pada perempuan yang mengekspresikan seksualitas adalah upaya untuk mendiskreditkan perempuan agar berhenti memiliki otonomi dan spontanitas atas ekspresi seksual.

Potret karakter perempuan Ratna yang terbelenggu dalam dunia dan budaya patriarki dalam film Possession: Kerasukan pun makin diperkuat dengan original soundtrack berjudul "Sabda Alam" yang dinyanyikan oleh Danilla Riyadi bersama Rahara.

Lirik ikonik dalam lagu itu adalah: Ditakdirkan bahwa pria berkuasa//Adapun wanita lemah, lembut, manja//Wanita dijajah pria sejak dulu//Dijadikan perhiasan sangkar madu.

Untungnya, ending film Possession: Kerasukan sangat memuaskan, setidaknya begitu menurut PARAPUAN yang sudah menontonnya, very liberating bagi Ratna dan para perempuan lain pada umumnya.

Ada kata-kata dari Lele Laila sang penulis naskah yang PARAPUAN suka juga mengenai ending dari film Possession: Kerasukan:

"Ratna itu sudah menjelaskan, setan itu pikiran kamu sendiri, misalnya kita mikir lagi, sebenarnya siapa yang memulai bahwa Ratna dirasuki, itu kan dari otaknya semua laki-laki yang ada di situ semua, dia selingkuh, semua itu datang bukan dari perempuannya tapi dari laki-lakinya.

"Jangan-jangan ada yang lebih menyeramkan daripada setan, pikiran laki-laki.

"Tapi kalau misalnya kita masih merasa jangan-jangan perempuannya yang salah, di situlah kita jangan-jangan memang selalu merasa perempuan salah."

Baca Juga: Mengenal Female Gaze, Cara Lensa Perempuan Memandang Dunia dalam Film

(*)

Penulis:
Editor: Rizka Rachmania


REKOMENDASI HARI INI

Review Film Possession: Kerasukan, Potret Perempuan Terbelenggu dalam Budaya Patriarki