"Kerentanan perempuan menjadi korban femisida juga dialami oleh perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks dari pengguna jasanya dan mucikari, transpuan dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas," ucap Rainy M Hutabarat, Komisioner Komnas Perempuan.
Menurut Rainy, femisida intim biasanya dibarengi oleh kekerasan fisik, kekerasan psikis, penelantaran ekonomi, dan ditambah tidak adanya lingkungan yang mendukung untuk melindungi korban.
Adapun motif pelaku femisida biasanya adalah banyak hal, namun yang paling tinggi adalah motivasi gender. Perempuan dibunuh karena dirinya perempuan.
Cemburu, maskulinitas, ketersinggungan, kekerasan seksual, menolak bertanggung jawab, menolak perceraian, atau pemutusan hubungan menjadi motif si pelaku.
"Motif-motif tersebut menggambarkan superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, maupun misogini terhadap perempuan serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan," ujar Rainy.
Dengan rentannya posisi perempuan sehingga bisa menjadi korban, negara diharapkan membangun mekanisme pencegahan.
Di samping itu juga penanganan kasus femisida secara hukum harus tegas, melibatkan aparat penegak hukum yang mumpuni.
"Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dan petugas layanan korban dalam mengidentifikasi femisida dan membangun penilaian tingkat bahaya bagi kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan sangat diperlukan," ucap Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan.
Peningkatan kapasitas aparat ini juga dimaksudkan agar saat mengidentifikasi korban, mereka dapat menggali fakta terkait faktor lain, misalnya rentetan KDRT, relasi kuasa, kekerasan seksual, dan ancaman atau upaya manipulasi dari pelaku.
Baca Juga: Berkaca dari Kasus KDRT dan Pembunuhan di Cikarang, Ini 20 Tanda Pernikahan Toxic
(*)