3. Femisida konteks konflik bersenjata, pembunuhan yang biasanya didahului kekerasan fisik yang dilakukan oleh aktor negara maupun non negara dengan target perempuan.
4. Femisida konteks industri seks komersial yang merupakan pembunuhan perempuan pekerja seks oleh klien atau kelompok lain karena perselisihan biaya atau kebencian.
5. Femisida perempuan dengan disabilitas, pembunuhan terhadap perempuan penyandang disabilitas karena kondisinya atau efek domino karena telah terjadi kekerasan seksual hingga kehamilan.
6. Femisida orientasi seksual dan identitas gender, pembunuhan yang didasarkan pada kebencian dan prasangka terhadap minoritas seksual.
7. Femisida di penjara, pembunuhan terhadap tahanan perempuan dalam konteks sistem penjara.
8. Femisida non intim (pembunuhan sistematis) merupakan pembunuhan oleh seseorang yang tidak memiliki hubungan intim dengan korban, bisa terjadi secara acak terhadap korban tidak dikenal atau pembunuhan sistematis oleh aktor negara ataupun non negara.
9. Femisida pegiat HAM/pegiat kemanusiaan merupakan pembunuhan yang dilakukan oleh aktor negara atau non-negara terhadap perempuan pejuang HAM.
Femisida Intim Paling Tinggi di Indonesia
Pantauan Komnas Perempuan sejak tahun 2020 hingga 2023 menemukan bahwa femisida intim, yakni pembunuhan yang dilakukan oleh suami/mantan suami dan pacar/mantan pacar adalah yang paling tinggi di Indonesia.
Baca Juga: Tak Ada Lagi Ruang untuk Hinaan Tobrut, Kini Pelecehan Seksual secara Verbal Bisa Dipidana!
Pada 2020, terpantau ada 95 kasus indikasi femisida. Tahun 2021 terpantau 237 kasus dan 2022 terpantau 307 kasus.
Pada 2023, terpantau 159 kasus. Dari semua kasus dengan indikasi femisida, femisida intim yang paling tinggi terjadi.
Rainy Hutabarat mengatakan bahwa selain femisida intim yang dilakukan oleh pasangan, femisida perempuan dengan disabilitas dan konteks industri seks komersial juga cukup tinggi.
Kerentanan perempuan menjadi korban femisida juga dialami oleh perempuan disabilitas, perempuan pekerja seks dari pengguna jasanya dan mucikari, transpuan dan perempuan dengan orientasi seksual minoritas.
Karakteristik femisida intim bercirikan adanya peningkatan intensitas dan muatan kekerasan fisik, kekerasan psikis berupa ancaman pembunuhan, penelantaran ekonomi, tidak adanya lingkungan yang mendukung untuk melindungi korban.
Siti Aminah Tardi, Komisioner Komnas Perempuan mengingatkan bahwa relasi perkawinan dan pacaran menjadi salah satu relasi yang tidak aman bagi perempuan.
Oleh karena itu Komnas Perempuan berharap penegak hukum bisa mengulik lebih dalam mengenai faktor terkait relasi kuasa dalam hubungan.
Jika Kawan Puan atau orang terdekat mengalami kekerasan atau butuh bantuan terkait masalah kekerasan bisa langsung cari bantuan melalui carilayanan.com.
Baca Juga: Mengenal Piramida Budaya Perkosaan, Bentuk Kekerasan Seksual dalam Bahasa Keseharian
(*)