Parapuan.co - Selama ribuan tahun, manusia telah mencari cara untuk melindungi diri dari sinar matahari yang keras.
Berdasarkan pengalaman ribuan tahun, pemahaman ilmiah pun semakin menunjukkan dampak kerusakan akibat paparan sinar matahari yang terlalu lama, hingga akhirnya mengembangkan tabir surya.
Di dunia modern seperti sekarang ini ada banyak varian sunscreen yang bisa digunakan untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari.
Tapi bagaimana dengan masa lampau? Apakah masyarakat zaman dulu menggunakan sunscreen yang sama dengan masa kini?
Berikut sejarah dan evolusi penggunaan tabir surya dari waktu ke waktu untuk melindungi kulit dari paparan sinar matahari.
Perlindungan dari Sinar Matahari di Pra Abad ke-20
Pada pra abad ke-20, nenek moyang kita belum menyadari secara lebih mendalam bahayanya paparan sinar matahari.
Alih-alih melindungi, kala itu masyarakat kuno cenderung melakukan perawatan kulit pasca terpapar sinar matahari.
Misalnya orang Mesir Kuno yang menggunakan minyak dan ekstrak seperti minyak zaitun dan dedak padi untuk menenangkan kulit yang terbakar sinar matahari.
Baca Juga: Tak Cukup Pakai Sunscreen, Ahli Sebut Pentingnya Kenakan Pakaian dengan UV Protection
Tapi pada beberapa daerah, seperti orang Yunani Kuno, selain mengoleskan minyak zaitun mereka juga memakai topi bertepi lebar untuk berteduh, seperti melansir Cosmoderma.
Sementara pada penduduk asli Australia, atau suku Aborigin, akan menggunakan oker, pigmen alami, untuk perlindungan terhadap sinar matahari yang berbahaya.
Metode awal ini memang bisa melindungi kulit masyarakat pra abad ke-20 pada tingkat tertentu, namun mereka kurang memiliki pemahaman ilmiah di balik fungsi tabir surya modern.
Awal Mula Tabir Surya Modern (Abad ke-20)
Di abad ke-20, mulai terjadi pergeseran ke arah pendekatan ilmiah dalam menemukan tabir surya untuk perlindungan matahari.
Setelah diketahui dampak buruk radiasi ultraviolet pada tahun 1801, seperti melansir NCBI, akhirnya tahun 1928 mulai muncul pengembangan filter ultraviolet B (UVB) pertama.
Kemudian pada 1932, ahli kimia asal Australia, H.A. Milton Blake, menemukan tabir surya komersial pertama yang menggunakan filter UVB, yang disebut salol.
Berlanjut ke tahun 1936, ahli kimia Perancis Eugène Schueller pun turut menciptakan tabir surya komersial lainnya untuk L'Oreal.
Sejak itu, kebutuhan akan tabir surya pun semakin meningkat, yang membawa sejumlah ahli kimia lainnya untuk membuat produk perlindungan sinar matahari.
Baca Juga: Viral di TikTok OSIS Razia Sunscreen, Lantas Sejak Usia Berapa Harus Pakai Tabir Surya?
Misalnya seperti tahun 1940-an, Benjamin Green, seorang apoteker, menciptakan losion berjemur Coppertone untuk tentara pada Perang Dunia II.
Kendati demikian, sunscreen di masa-masa ini terkenal dengan teksturnya yang tebal, berminyak dan menawarkan perlindungan yang masih terbatas.
Penyempurnaan Sunscreen di Pertengahan Abad 20 hingga Sekarang
Paruh kedua abad ke-20 semakin menunjukkan kemajuan signifikan dalam teknologi tabir surya.
Hal tersebut dibuktikan dari sejumlah penemuan yang dilakukan oleh para ahli.
Franz Greiter memperkenalkan sistem pemeringkatan Sun Protection Factor (SPF), yang merupakan ukuran kemampuan sunscreen dalam memblokir sinar UVB pada tahun 1946, seperti melansir dari Weldricks.
Kemudian dilakukan juga pengembangan filter UVB yang lebih efektif dan identifikasi potensi alergen pada beberapa tabir surya di tahun 1956.
Terus berkembang, di tahun 1974, sistem pemeringkatan SPF diadopsi oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA), yang kemudian diikuti oleh negara-negara lainnya.
Tak sampai di situ, pengenalan sunscreen yang bisa melindungi kuli dari sinar ultraviolet A (UVA), yang menembus lebih dalam ke kulit juga terjadi di tahun 1980-an.
Baca Juga: Ini 3 Rekomendasi Sunscreen Pilihan Parapuan, Ringan seperti Pelembap
Dan pada 1990-an, teknologi semakin canggih yang dibuktikan melalui terjadinya pengembangan tabir surya "spektrum luas" yang bisa melindungi dari sinar UVA dan UVB sekaligus, seperti melansir skincancer.org.
Modern kini, sunscreen semakin canggih dan memiliki banyak variasi yang memenuhi berbagai kebutuhan manusia.
Melalui formula yang ringan seperti pelembap, tidak menyebabkan white cast hingga ramah lingkungan yang aman bagi terumbu karang.
Keberadaan sunscreen pun terus berkembang, dan para peneliti terus mencari cara untuk meningkatkan kemanjuran, kenyamanan, dan dampaknya terhadap lingkungan.
(*)