Kurnianing Isololipu

Kepala Prodi Magister Administrasi Bisnis, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Pemerhati Perempuan

Kepemimpinan Perempuan, Antara Perasaan dan Pikiran

Kurnianing Isololipu Rabu, 12 Juni 2024
Kepemimpinan perempuan seringkali dihadapkan dengan dilema antara pikiran  atau logika, dengan hati atau perasaan.
Kepemimpinan perempuan seringkali dihadapkan dengan dilema antara pikiran atau logika, dengan hati atau perasaan. Eva Almqvist

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Parapuan.co - Sekali lagi, perempuan terpilih menjadi pemimpin negara. Claudia Sheinbaum terpilih menjadi presiden perempuan pertama di Meksiko.

Sheinbaum mendapat perolehan 58% dari total suara, mengalahkan 2 kandidat calon presiden lainnya, Xóchitl Gálvez dan Jorge Álvarez Máynez.

Menarik mengamati kemenangan Sheinbaum ini, dalam konteks kepemimpinan perempuan. Terlebih karena riwayat Meksiko sebagai negara dengan kekerasan gender yang cukup tinggi.

Bahkan, sehari setelah kemenangan Sheinbaum, walikota di Meksiko Barat, yang juga seorang perempuan, Yolanda Sanchez Figueora, tewas ditembak di jalan umum.

Negara kita juga sudah mencatat sejarah adanya presiden perempuan pertama, yaitu Megawati Soekarnoputri, yang sekaligus adalah Presiden ke-5 Indonesia menggantikan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang diberhentikan oleh MPR sebelum masa jabatannya berakhir di tahun 2001.

Perempuan menjadi pemimpin memang sering kali menjadi berita besar yang menggembirakan, baik itu di tingkat negara, daerah, atau di sebuah lembaga, organisasi, atau mungkin saja di tingkat lingkungan masyarakat seperti Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW).

Mengapa ini terjadi? Apa yang istimewa? Mengapa ketika perempuan menjadi pemimpin, euforia kegembiraan seperti menyebar luas?

Adakah selama ini yang tertahan dari perempuan, sehingga ketika menjadi seorang pemimpin menjadi pencapaian yang luar biasa?

Ketika berbicara tentang pemimpin, terutama dalam memilih dan menentukan pemimpin, sepertinya ada banyak sekali rambu yang perlu diikuti, ditaati.

Baca Juga: Mengenal Claudia Sheinbaum, Presiden Perempuan Pertama dalam Sejarah Meksiko

Rambu-rambu itu mungkin saja suatu keyakinan, nilai yang salah, keliru. Hanya saja ia sudah terpelihara sebagai warisan dari generasi ke generasi dan akhirnya dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Salah satunya adalah pandangan jika perempuan memimpin, maka sulit baginya bertindak dengan tepat dan cepat.

Alasan yang sering kali diberikan atas sangkaan ini adalah karena perempuan lebih banyak menggunakan perasaan dibandingkan logika atau pikirannya, maka dia dapat mengalami dilema dan lama dalam mengambil keputusan.

Bila situasi ini terjadi untuk pengambilan keputusan strategis yang perlu penanganan cepat, maka tentulah kurang baik.

Berbeda dengan laki-laki yang cenderung selalu berpikir logis, sehingga anggapannya, pengambilan keputusan untuk hal-hal kritis dapat dilakukan dengan cepat dan pasti tepat.

Bagi perempuan, menjadi seorang pemimpin memang memiliki tantangan sendiri, bila tak ingin memandangnya sebagai hambatan.

Dalam pandangan masyarakat umum, perempuan memiliki posisi dan perlakuan yang berbeda dengan laki-laki. Salah satunya adalah dalam pengidentifikasian sifat, karakter.

Laki-laki sejak kecil dalam pengasuhannya dididik untuk kuat, berpikir logis, dilarang menangis sebagai respon atas emosi sedih atau takut yang dimilikinya.

Sebaliknya perempuan sedari kecil dalam didikan diajarkan untuk lembut, diperbolehkan menangis secukupnya sebagai ekspresi atas emosi yang dirasakan, boleh merasa.

Baca Juga: Hari Perempuan Internasional: 5 Pemimpin Perempuan Inspiratif dalam 100 Tahun Terakhir

Terbentuklah dalam prosesnya kemudian, stereotype bahwa laki-laki lebih mengedepankan logika dalam bertindak dan perempuan lebih dituntun oleh perasaannya.

Dengan stereotype yang ada, ketika perempuan dihadapkan pada kesempatan memimpin, muncullah penilaian-penilaian keliru yang hanya didasarkan atas stereotype bentukan warisan.

Perempuan yang secara kompetensi memiliki kecakapan sebagai pemimpin, perlu berusaha lebih keras, hanya untuk menunjukkan bahwa dia dapat menggunakan pikiran dan perasaannya dengan tepat.

Kalau pun perempuan memang lebih kuat menggunakan perasaan di dalam memimpin, ini tentu bukanlah sesuatu yang salah.

Telah banyak contoh dalam praktik kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang menunjukkan bahwa dalam situasi genting, penggunaan intuisi dengan merasa, ternyata menjadi sebuah langkah yang tepat diikuti.

Dalam laman Forbes (2024), kepemimpinan perempuan ternyata membawa kualitas yang berbeda dalam konteks penguatan keberhasilan organisasi.

Berdasarkan penelitian kepada para perempuan eksekutif, pendekatan kepemimpinan perempuan ternyata mengedepankan empati, membangun hubungan dan inklusivitas.

Penelitian KPMG (2023) menunjukkan bahwa pemimpin perempuan memiliki kekhasan dengan mendukung praktik kerja yang memperhatikan kesehatan mental untuk tim.

Hal ini dilakukan dengan memberi contoh perilaku empati dan otentik, membangun batasan diri dan lingkungan, serta bersedia mengizinkan diri untuk beristirahat, mengambil cuti bekerja.

Baca Juga: Sinopsis Series Heeramandi: The Diamond Bazaar, Kisah Kepemimpinan Perempuan di India

Memang, kemampuan berempati, membentuk hubungan, praktek inklusif dan menjadi otentik hanya dapat lahir pada diri dengan mengasah rasa, memberi ruang pada perasaan untuk hadir.

Pendekatan humanis yang sebenarnya semakin diperlukan di tengah dunia yang menjadi materialistis dengan aspek modernitas yang bertambah kuat mengakar.

Perempuan dan laki-laki memang berbeda. Begitu pun di dalam memimpin.

Perbedaan ini perlu didukung dengan memperhatikan aspek baik yang memberdayakan dalam kepemimpinan perempuan.

Perempuan yang (akan) menjadi pemimpin boleh dan layak mengedepankan kekuatan khas dirinya (yang berasal dari sifat alami dan sejatinya berbeda dengan laki-laki) tanpa perlu mengikuti kepemimpinan yang dicontohkan oleh laki-laki.

Perempuan patut berani memimpin secara berbeda, yang didasari atas kekuatan diri, dengan menanggalkan asumsi penilaian yang akan diberikan padanya.

Karena kepemimpinan yang diwarnai dengan perbedaan yang memajukan (bukan penyeragaman karena bentukan warisan), akan memberi harapan untuk pertumbuhan bagi yang memimpin dan dipimpin. (*)