Menurut Wayan Aristana, Senior Executive Social Research Populix, penanganan tidak maksimal pada kasus perlakuan tidak menyenangkan terhadap pekerja menyebabkan kasus yang sama terus berulang.
Bahkan, berdasarkan pengakuan responden yang pernah menjadi korban, sebanyak 35 persen penanganan kasus perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerja tidak terselesaikan.
“Hingga bahkan ada pekerja yang mengaku korban justru berujung diberhentikan dari pekerjaannya,” tutur Aristana pada Senin (24/06/2024).
Ditambah lagi, sebanyak 21 persen penanganan kasusnya malah tidak berpihak pada korban.
Menurut Jonas Danny, Head of Human Resources Populix, hampir seluruh mekanisme penanganan perlakuan tidak menyenangkan ini sifatnya delik aduan, yaitu harus ada pengaduan dari pihak korban.
"Sedangkan dalam kasus ini seringkali korban juga merasa enggan untuk melapor karena ada ketakutan akan bocornya informasi mengenai identitas pelapor," ujarnya.
Bahkan ketika mereka melapor pun, belum tentu hasilnya akan berpihak kepada mereka, karena bisa jadi pelaku justru dilindungi oleh pihak perusahaan karena satu dan lain hal.
Maka dari itu, sangat penting bagi perusahaan untuk memastikan bahwa human resources mereka mampu menangani aduan perlakuan tidak menyenangkan di kantor yang dialami oleh pekerja perempuan.
Baca Juga: Heboh Kekerasan Seksual Terkait Kontrak Kerja, Ini Aturan Perpanjang Kontrak di UU Cipta Kerja
Bukannya tanpa alasan, perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerja dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik pekerja perempuan.
Selain itu, perlakuan tidak menyenangkan di tempat kerja terhadap pekerja perempuan dapat merusak reputasi perusahaan.
Sehingga dengan penanganan aduan perlakuan tidak menyenangkan yang baik dapat menunjukkan kepada pekerja perempuan bahwa perusahaan menghargai mereka dan berkomitmen untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman serta inklusif.
(*)