Baca Juga: Kawan Puan Wajib Tahu, Ini Aturan Upah untuk Ibu Bekerja yang Cuti Melahirkan
"Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan besar bagi kami (buruh perempuan) bagaimana implementasinya," jelasnya lagi.
Walaupun UU KIA ini membuat terobosan dengan menambah cuti melahirkan bagi ibu bekerja menjadi paling lama 6 bulan, namun hal ini tidak mudah diimplementasikan karena ibu akan mendapat hak cuti tersebut jika terjadi kondisi khusus.
Entah karena terkait kondisi kesehatan ibu dan/atau anak yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Cuti melahirkan bagi ibu dilengkapi dengan skema penggajian dalam UU KIA, sedangkan cuti mendampingi istri bagi laki-laki tidak diatur skema penggajiannya, karena dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan dua hari.
Pada kenyataannya, hak cuti melahirkan selama tiga bulan sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan (sekarang menjadi UU Cipta Kerja) sulit implementasinya dan belum maksimal karena lemahnya pengawasan.
Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak melaksanakan atau hanya melakukan di atas kertas agar tidak berdampak pada perijinan perusahaan tersebut.
Dalam praktiknya, untuk mendapat cuti melahirkan, buruh perempuan harus melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan melalui serikat buruh, sedangkan banyak buruh perempuan yang belum berserikat dan tidak semua perusahaan memiliki serikat buruh atau serikat pekerja.
Dengan adanya cuti melahirkan 6 bulan, pihak perusahaan berpotensi meminggirkan perempuan dengan tidak mempekerjakan buruh perempuan yang sudah menikah dan berpotensi hamil, dan bahkan memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan.
UU KIA ini berpotensi menyebabkan diskriminasi tidak langsung kepada buruh perempuan ketika pemberi kerja lebih memilih buruh laki-laki dengan alasan mengurangi beban pelaksanaan Undang-Undang.
Jumisih menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah terkait UU KIA memang menjadi wujud pembelaan pada perempuan.
Namun, alangkah baiknya jika kebijakan ini juga mencakup seluruh kalangan pekerja perempuan.
"Kami mengapresiasi pemerintah sudah mengesahkan Undang-Undang ini sebagai wujud pembelaan pada buruh perempuan, tetapi kami juga ingin mengkritisi bagaimana kemudian nasib buruh perempuan," tegasnya.
Dari pemaparan Jumiasih, UU KIA ini berpotensi menyebabkan diskriminasi tidak langsung antara perempuan buruh dan pekerja formal
Baca Juga: Kegagalan UU KIA Menghadirkan Peran Laki-Laki Sebagai Ayah dan Suami
(*)