RUU KIA Disahkan, Bagaimana Nasib Buruh Perempuan? Simak Penjelasannya!

Saras Bening Sumunar - Kamis, 4 Juli 2024
RUU KIA Disahkan, sejumlah pihak justru mengkritisi.
RUU KIA Disahkan, sejumlah pihak justru mengkritisi. Freepik

HOLD

 

Parapuan.co - Pada 4 Juni 2024 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA).

Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna DPR RI pada Selasa (4/6/2024).

Disahkannua RUU KIA seakan membawa angin segar bagi para ibu pekerja.

Sayangny, penetapan kebijakan ini juga menimbulkan pertanyaan sejumlah pihak, termasuk perempuan yang bekerja informal seperti buruh atau pekerja keperawatan.

Bukan itu saja, ada pula catatan kristis terkait UU KIA yang masih lemah dan berpotensi rancu dalam implementasinya.

Jika ditelaah, RUU KIA berfokus dengan ibu bekerja. Lantas, bagaimana dengan para perempuan yang bekerja di sektor informal?

Bagaimana dengan perempuan nelayan, perempuan petani, perempuan adat, dan ibu rumah tangga?

Apakah mereka juga mendapatkan kesejahteraan dari pemberlakukan UU KIA ini?

Perlu diketahui, jumlah tenaga kerja di sektor informasi kini mencapai sekitar 82,67 juta orang atau sebesar 55,9 persen dan di dominasi perempuan.

Baca Juga: Ini Pentingnya Buku KIA Warna Pink untuk Pantau Kesehatan Ibu dan Anak

Jumisih selaku perwakilan Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia, menyebut bahwa UU KIA berpotensi meminggirkan hak buruh perempuan.

Penjelasan ini ia sampaikan dalam webinar 'Menakar efektivitas UU KIA: Lemahnya Substansi dan Potensi Kerancuan dalam Implementasi'.

"UU KIA berpotensi meminggirkan hak buruh perempuan," ucap Jumisih.

Menurutnya, UU KIA belum efektif jika diberlakukan untuk perempuan yang memiliki hubungan kerja tidak pasti.

Termasuk pada pekerja kontrak, outsourcing, hingga pekerja buruh lainnya.

"Itu akan sulit diimplementasikan karena ada hubungan kerja tidak pasti yang kaitannya dengan status buruh kontrak, outsourcing, di mana buruh perempuan itu masuk di dalamnya," imbuhnya.

Bukan itu saja, hubungan kerja tidak pasti ini juga membuat para buruh perempuan sulit mengakses cuti melahirkan yang sebelumnya sudah ditetapkan.

"Hubungan kerja yang tidak pasti ini membuat buruh perempuan sulit untuk mengakses hak cuti melahirkan mereka," imbuhnya.

Baca Juga: Kawan Puan Wajib Tahu, Ini Aturan Upah untuk Ibu Bekerja yang Cuti Melahirkan

"Itulah yang kemudian menjadi pertanyaan besar bagi kami (buruh perempuan) bagaimana implementasinya," jelasnya lagi.

Walaupun UU KIA ini membuat terobosan dengan menambah cuti melahirkan bagi ibu bekerja menjadi paling lama 6 bulan, namun hal ini tidak mudah diimplementasikan karena ibu akan mendapat hak cuti tersebut jika terjadi kondisi khusus.

Entah karena terkait kondisi kesehatan ibu dan/atau anak yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.

Cuti melahirkan bagi ibu dilengkapi dengan skema penggajian dalam UU KIA, sedangkan cuti mendampingi istri bagi laki-laki tidak diatur skema penggajiannya, karena dalam aturan UU Ketenagakerjaan hanya disebutkan dua hari.

Pada kenyataannya, hak cuti melahirkan selama tiga bulan sebagaimana yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan (sekarang menjadi UU Cipta Kerja) sulit implementasinya dan belum maksimal karena lemahnya pengawasan.

Akibatnya, banyak perusahaan yang tidak melaksanakan atau hanya melakukan di atas kertas agar tidak berdampak pada perijinan perusahaan tersebut.

Dalam praktiknya, untuk mendapat cuti melahirkan, buruh perempuan harus melakukan negosiasi dengan pihak perusahaan melalui serikat buruh, sedangkan banyak buruh perempuan yang belum berserikat dan tidak semua perusahaan memiliki serikat buruh atau serikat pekerja.

Dengan adanya cuti melahirkan 6 bulan, pihak perusahaan berpotensi meminggirkan perempuan dengan tidak mempekerjakan buruh perempuan yang sudah menikah dan berpotensi hamil, dan bahkan memberhentikan buruh perempuan yang mengambil cuti melahirkan.

UU KIA ini berpotensi menyebabkan diskriminasi tidak langsung kepada buruh perempuan ketika pemberi kerja lebih memilih buruh laki-laki dengan alasan mengurangi beban pelaksanaan Undang-Undang.

Jumisih menjelaskan bahwa kebijakan pemerintah terkait UU KIA memang menjadi wujud pembelaan pada perempuan.

Namun, alangkah baiknya jika kebijakan ini juga mencakup seluruh kalangan pekerja perempuan.

"Kami mengapresiasi pemerintah sudah mengesahkan Undang-Undang ini sebagai wujud pembelaan pada buruh perempuan, tetapi kami juga ingin mengkritisi bagaimana kemudian nasib buruh perempuan," tegasnya.

Dari pemaparan Jumiasih,  UU KIA ini berpotensi menyebabkan diskriminasi tidak langsung antara perempuan buruh dan pekerja formal

Baca Juga: Kegagalan UU KIA Menghadirkan Peran Laki-Laki Sebagai Ayah dan Suami

(*)



REKOMENDASI HARI INI

Ketentuan Baru Potongan Gaji Pekerja untuk Tapera, Kapan Mulai Berlaku?