Polemik 'Aura Maghrib', Kenapa Perempuan Terobsesi dengan Kulit Putih?

Citra Narada Putri - Rabu, 10 Juli 2024
Polemik 'aura maghrib', kenapa perempuan terobsesi dengan kulit putih?
Polemik 'aura maghrib', kenapa perempuan terobsesi dengan kulit putih? (YunYulia/Getty Images)

Parapuan.co - Para pengguna media sosial mungkin tak asing dengan istilah 'aura maghrib' yang sempat viral di TikTok.

Sebutan 'aura maghrib' disampaikan oleh sejumlah oknum pengguna media sosial kepada sejumlah artis, misalnya seperti Fuji hingga Erika Carlina.

Istilah ini dimaknai sebagai penampilan seseorang yang memiliki kulit sawo matang atau gelap (tan skin).

Kata 'maghrib', yang identik dengan perubahan langit dari sore ke malam, diartikan sebagai 'gelap'.

Dengan demikian, ketika seseorang disebut memiliki 'aura maghrib', maka diartikan mereka berkulit gelap. 

Tren istilah ini pun dikecam oleh banyak pihak, dari warganet hingga kalangan selebritas.

Misalnya seperti Marion Jola, yang dalam kesempatannya tampil di sebuah acara podcast, mengatakan bahwa maghrib memiliki makna yang indah. 

"Kulit kaya ka Fuji orang bilangnya 'aura maghrib', yah istilah menjijikannya zaman sekarang. Which is for me lucu, maghrib itu bukannya cakep yah kalau sunset? Maghrib kalau di muslim waktunya untuk solat dan buka puasa, indah banget loh waktu itu. Tapi kenapa tiba-tiba artinya jadi kotor cuman gara-gara mulut netizen?" komentar Marion Jola.

Masih ramainya celotehan sejumlah pengguna media sosial yang menggunakan istilah 'aura maghrib' menunjukkan masih banyaknya masyarakat kita yang terjebak dengan standar kecantikan semu.

Baca Juga: Anak Politisi Dirundung Karena Rambut Keriting, Ini Fakta Diskriminasi Rambut

Dengan kata lain, masih banyak perempuan Indonesia yang terobsesi untuk memiliki kulit putih agar terlihat cantik.

Kenapa masih banyak perempuan terobsesi untuk memiliki kulit putih?

Kulit cerah yang putih telah menjadi standar kecantikan di banyak negara Asia selama beberapa generasi.

Survei yang dilakukan oleh World Health Organization (WHO) mengungkapkan bahwa 40 persen perempuan di negara-negara seperti Tiongkok, Malaysia, Filipina, dan Korea Selatan rutin menggunakan produk pemutih kulit.

Ironisnya lagi, perkiraan nilai industri produk pemutih kulit diproyeksikan akan mencapai 8,9 miliar dolar AS pada tahun 2027, seperti melansir Travel Noire via Yahoo Life.

Sementara menurut temuan Global Industry Analyst terkait meningkatnya produk pencerah kulit, disebutkan karena faktor, “stigma kulit gelap yang masih merajalela, dan persepsi budaya yang kaku yang mengaitkan warna kulit cerah dengan kecantikan dan kesuksesan pribadi” seperti melansir The Guardian.

Rupanya, preferensi historis terhadap kulit cerah dalam budaya Asia secara intrinsik terkait dengan status sosial-ekonomi dan warisan kolonialisme.

Secara historis, memiliki kulit cerah merupakan indikator status sosial yang lebih tinggi, karena individu yang melakukan pekerjaan kasar sering kali memiliki kulit lebih gelap akibat paparan sinar matahari.

Baca Juga: Benarkah Kolagen Bisa Bikin Kulit Putih? Ini Kata Dokter yang Viral di TikTok

Sementara itu, kaum elit menikmati kehidupan di dalam ruangan yang terlindung karena kekayaan mereka, yang artinya mereka memiliki kulit lebih cerah.

Akibatnya, mereka yang berkulit lebih gelap terdegradasi ke tingkat yang lebih rendah dalam hierarki sosial, sehingga memicu semangat untuk memiliki kulit yang lebih cerah.

Kolonialisme juga berdampak pada standar kecantikan di negara-negara Asia.

Banyak negara di benua ini pernah dijajah oleh negara ras kaukasia, misalnya dari Amerika Serikat dan Eropa.

Pada akhirnya, kulit mereka yang cerah menandakan kekuasaan dan kemakmuran para penjajah.

Bahkan di Jepang, yang masih belum terjajah, perempuan bangsawan pada zaman Edo menggunakan riasan putih untuk meniru citra mewah yang diasosiasikan dengan kulit cerah.

Faktor sejarah ini terus membentuk standar kecantikan modern di Asia.

Namun, seiring berjalannya waktu, standar kecantikan Eurosentris kian pudar.

Makin banyak gerakan-gerakan yang memperjuangkan keindahan warna kulit asli, termasuk yang berwarna lebih gelap.

Baca Juga: Bukan Putih, Begini Makna Cantik Menurut Dokter Yessica Tania

Gerakan-gerakan pemberdayaan perempuan ini mengajarkan banyak kaum hawa untuk lebih bisa menerima semua warna kulit dan merasa cantik dengan dirinya sendiri. 

Meskipun preferensi terhadap kulit putih masih ditemukan di banyak negara Asia, salah satunya di Indonesia melalui tren 'aura maghrib', namun kecenderungan ini perlahan berubah seiring dengan semakin populernya standar kecantikan baru.

Misalnya seperti hasil riset ZAP Beauty Index 2024 yang mengatakan bahwa 98,9 persen responden perempuan sepakat kulit putih tak lagi menjadi standar kecantikan masa kini.

Alih-alih memiliki kulit putih, standar kecantikan di era sekarang ini lebih tertuju pada kulit yang lebih sehat .

Hal ini juga dibuktikan dengan semakin banyaknya orang yang tidak setuju dengan anggapan sejumlah pengguna media sosial yang menggunakan istilah 'aura maghrib' untuk melakukan body shaming pada perempuan lain.

Maka, Kawan Puan tak perlu lagi khawatir dengan ucapan sejumlah oknum yang melakukan body shaming tanpa alasan jelas.

Yakinilah bahwa kamu cantik, kamu berharga!

(*)



REKOMENDASI HARI INI

Komnas Perempuan Buka Lowongan Kerja Staf Unit Pengaduan, Ini Syaratnya