Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Pelecehan Seksual dan Relasi Kuasa: Ketika Perempuan Dipandang sebagai Objek

Anneila Firza Kadriyanti Kamis, 11 Juli 2024
Pelecehan seksual dan relasi kuasa: ketika perempuan dipandang sebagai objek
Pelecehan seksual dan relasi kuasa: ketika perempuan dipandang sebagai objek (coldsnowstorm/Getty Images)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis

Parapuan.co - Ada sebuah pernyataan yang diungkapkan Gavin de Becker dalam bukunya TheGift of Fear: Survival Signals That Protect Us from Violence. 

"At core, men are afraid women will laugh at them, while at core, women are afraid men will kill them."

Pernyataan tersebut secara gamblang menunjukkan adanya relasi kuasa yang timpang dalam hubungan perempuan dan laki-laki.

Oleh karena itu, pelecehan dan kekerasan seksual tetap terus terjadi ketika salah satu pihak (seringnya laki-laki), merasa lebih dominan dibandingkan pihak lain yang subordinat (perempuan).

Rasa takut dipermalukan karena dianggap tidak jantan dan tidak dapat menaklukkan perempuan mendorong laki-laki bertindak agresif.

Terlebih jika laki-laki menempati jabatan publik yang terhormat, keinginan untuk semakin menguatkan dominansinya di mata perempuan akan semakin menggebu (Day et al, 2003).

Di sisi lain, perempuan akan terus merasa takut untuk menolak laki-laki akibat sikap agresif yang mungkin muncul ketika laki-laki mengalami penolakan oleh perempuan.

Sikap agresif laki-laki kerap dimanifestasikan dalam bentuk kekerasan fisik.

Baca Juga: Kasus Polwan FN sebagai Perempuan Berkonflik Hukum Akibat Kekerasan Finansial dalam Rumah Tangga