Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Pelecehan Seksual dan Relasi Kuasa: Ketika Perempuan Dipandang sebagai Objek

Anneila Firza Kadriyanti Kamis, 11 Juli 2024
Pelecehan seksual dan relasi kuasa: ketika perempuan dipandang sebagai objek
Pelecehan seksual dan relasi kuasa: ketika perempuan dipandang sebagai objek (coldsnowstorm/Getty Images)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Perempuan yang tak menanggapi hasrat seksual laki-laki akan dihujat: “tak tahu terima kasih”; “sok merasa cantik”; “tidak tahu diri”; dan beragam umpatan lainnya.

Implementasi ini masih terlihat dari cara orang tua mendidik anak-anak perempuan yang terus melekatkan stigma agar perempuan memiliki tampilan fisik menarik hingga bersikap lembut.

Perempuan yang galak, judes, dan tidak suka berdandan akan dicela sebagai perempuan tidak laku yang susah memiliki pacar.

Stigma ini akan selalu menjadi pembenaran bagi laki-laki saat melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan, sebab perempuan menampilkan diri secara menarik memang untuk menarik perhatian lelaki, dan juga ‘undangan’ agar boleh melakukan hubungan seksual.

“No” Means Negotiable

Hubungan seks antara perempuan dan laki-laki di era modern kerap dimaknai sebagai proses transaksional.

Perempuan dianggap sebagai gatekeeper of sex yang sekedar memberikan setuju atau tidak setuju ketika akan melakukan hubungan intim.

Sekilas, perempuan tampaknya punya andil dan kuasa dalam memutuskan keberlanjutan hubungan seks.

Consent merupakan hak perempuan yang sepatutnya diapresiasi oleh laki-laki sebelum melakukan intercourse.

Baca Juga: Pembunuhan terhadap Perempuan, Kenali 9 Jenis Femisida Menurut Komnas Perempuan