Anneila Firza Kadriyanti

Pengamat komunikasi politik gender; founder dan pegiat literasi digital Mari Melek Media; feminist blogger.

Pelecehan Seksual dan Relasi Kuasa: Ketika Perempuan Dipandang sebagai Objek

Anneila Firza Kadriyanti Kamis, 11 Juli 2024
Pelecehan seksual dan relasi kuasa: ketika perempuan dipandang sebagai objek
Pelecehan seksual dan relasi kuasa: ketika perempuan dipandang sebagai objek (coldsnowstorm/Getty Images)

Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.

Ketakutan terhadap penyiksaan tersebut sering membuat perempuan tidak berdaya dalam melawan pelecehan dan kekerasan seksual (Bates, 2020).

‘Keberanian’ Lelaki Melecehan Perempuan Secara Seksual

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) resmi disahkan sejak Mei 2022 lalu.

Meski demikian, pelecehan seksual akibat relasi kuasa di tempat kerja, bahkan di universitas, masih terus terjadi hingga saat ini.

Padahal UU TPKS secara eksplisit telah menegaskan hukuman terhadap pelaku kejahatan seksual yang memanfaatkan posisinya sebagai atasan dalam mengeksploitasi dan melakukan kejahatan terhadap bawahannya secara seksual.

Hal ini termaktub dalam Pasal 11, 12, dan 13 UU TPKS dengan hukuman penjara maksimal 12-15 tahun, dan denda Rp300 juta – Rp1 miliar.

Munculnya ‘keberanian’ laki-laki untuk tetap melakukan pelecehan seksual disebabkan oleh susahnya merubah tradisi patriarki yang sejak lama sudah menempatkan perempuan sebagai objek dan the second citizen (Beauvoir, 1949).

Sebagai objek, perempuan dipandang karena tubuh dan fungsi reproduksinya.

Masyarakat menempatkan perempuan sebagai objek yang diinginkan (desirable) di mata pria, sehingga ketika ada seorang laki-laki menunjukkan hasrat seksualnya terhadap perempuan, hasrat tersebut dianggap sebagai pujian terhadap perempuan karena mereka diinginkan.

Baca Juga: Bahaya Mengancam, Ini 5 Cara Mencegah Anak Jadi Korban Kekerasan Seksual