Atau pada bencana Cylone di Bangladesh tahun 1991, total korban 14.000 (90 persen perempuan).
Maupun ketika terjadi badai Katrina di Amerika Serikat, sebagaian besar korban adalah ibu-ibu Afro-American beserta anak-anaknya.
Kekerasan Berbasis Gender di Pengungsian
Ketika terjadi perubahan iklim, perempuan dan anak perempuan menghadapi peningkatan kerentanan terhadap segala bentuk kekerasan berbasis gender.
Termasuk kekerasan seksual terkait konflik, perdagangan manusia, pernikahan anak, dan bentuk kekerasan lainnya.
Bukan hanya soal ancaman keselamatan, perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender di tempat pengungsian bencana.
Melansir The Conversation, pada kejadian tsunami dan gempa di Palu tahun 2019, tercatat ada 57 laporan kasus kekerasan berbasis gender.
Adapun kasus-kasus tersebut berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkawinan anak, dan perkawinan paksa di 10 kamp pengungsian.
Bahkan ironisnya lagi, sebuah studi yang dilakukan Universitas Indonesia menunjukkan ada hubungan yang erat antara tingginya bencana alam dan perkawinan anak.
Baca Juga: TikTok Lakukan Ini Ketika Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat 4 Kali Lipat
Perkawinan anak dipercayai sebagai salah satu bentuk strategi menghadapi ketidakpastian ekonomi keluarga akibat bencana, yaitu dengan mengurangi “jumlah mulut yang harus diberi makan”.
Dampaknya adalah perempuan dan anak perempuan semakin sulit mengakses pertolongan dan bantuan, sehingga semakin mengancam penghidupan, kesejahteraan dan pemulihan mereka, serta menciptakan lingkaran setan kerentanan terhadap bencana di masa depan.
Terbatasnya akses terhadap sumber daya alam, perempuan dan anak yang lebih rentan jadi korban bencana hingga kekerasan berbasis gender saat bencana terjadi hanyalah segelintir contoh kecil dari dampak perubahan iklim terhadap ketidaksetaraan gender.
Penting untuk diingat bahwa ketidaksetaraan gender merupakan faktor yang memperkuat dampak negatif perubahan iklim.
Dengan menyadari kaitan ini dan berupaya mewujudkan kesetaraan gender, kita tidak hanya dapat menciptakan dunia yang lebih adil dan merata.
Namun juga memberdayakan perempuan untuk menjadi pemain kunci dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua orang.
(*)