Parapuan.co - Perubahan iklim adalah krisis kompleks yang berdampak pada bumi dan manusia. Namun sayangnya, dampaknya justru tidak dirasakan secara merata.
Tanpa disadari, perubahan iklim menciptakan persimpangan yang berbahaya dengan ketidaksetaraan gender, dan memperkuat kerentanan yang ada terhadap perempuan serta anak perempuan di seluruh dunia.
Bahkan dapat dikatakan, perempuan dan anak perempuan mengalami dampak terbesar dari perubahan iklim.
Hal ini pun makin memperbesar ketidaksetaraan gender yang ada dan menimbulkan ancaman unik terhadap kehidupan, kesehatan, dan keselamatan mereka.
Akses terhadap Sumber Daya Alam
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, perempuan menyumbang 45 sampai 80 persen dari produksi pangan di negara-negara berkembang.
Perubahan iklim yang mengganggu pola tanam dan ketersediaan air dapat mengancam ketahanan pangan dan meningkatkan beban kerja perempuan.
Karena memang, perempuan seringkali lebih bergantung pada sumber daya alam seperti air dan kayu bakar untuk kebutuhan rumah tangga.
Namun selama masa kekeringan dan curah hujan yang tidak menentu, perempuan pekerja di sekor pertanian dan penyedia barang utama, harus bekerja lebih keras untuk mendapatkan pendapatan dan sumber daya bagi keluarga mereka.
Baca Juga: 5 Tips Jaga Kesehatan Anak di Tengah Perubahan Iklim yang Tak Menentu
Dengan kata lain, perubahan iklim mengganggu akses terhadap sumber daya alam, yang ironisnya memaksa perempuan untuk melakukan perjalanan lebih jauh dan bekerja lebih lama untuk mendapatkan sumber daya alam tersebut.
Kondisi ini dapat membatasi waktu mereka untuk mendapatkan pendidikan, mencari nafkah, dan kegiatan penting lainnya.
Hal ini memberikan tekanan tambahan pada anak perempuan, yang seringkali harus meninggalkan sekolah untuk membantu ibu mereka mengatasi beban yang semakin meningkat.
Rentan Jadi Korban Bencana Alam
Ketika bencana terjadi, perempuan mempunyai peluang yang lebih kecil untuk bertahan hidup dan lebih besar kemungkinannya untuk terluka.
Misal saja menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), perempuan dan anak-anak 14 kali lebih besar berisiko meninggal dunia.
Temuan BNPB menunjukkan bahwa 60-70 persen korban bencana adalah perempuan dan anak-anak serta orang lanjut usia.
Misalnya korban tsunami Aceh yang terbanyak adalah ibu yang meninggal bersama anaknya.
Baca Juga: Viral di TikTok Man VS Bear, Kenapa Perempuan Memilih Beruang daripada Laki-Laki?
Atau pada bencana Cylone di Bangladesh tahun 1991, total korban 14.000 (90 persen perempuan).
Maupun ketika terjadi badai Katrina di Amerika Serikat, sebagaian besar korban adalah ibu-ibu Afro-American beserta anak-anaknya.
Kekerasan Berbasis Gender di Pengungsian
Ketika terjadi perubahan iklim, perempuan dan anak perempuan menghadapi peningkatan kerentanan terhadap segala bentuk kekerasan berbasis gender.
Termasuk kekerasan seksual terkait konflik, perdagangan manusia, pernikahan anak, dan bentuk kekerasan lainnya.
Bukan hanya soal ancaman keselamatan, perempuan juga rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender di tempat pengungsian bencana.
Melansir The Conversation, pada kejadian tsunami dan gempa di Palu tahun 2019, tercatat ada 57 laporan kasus kekerasan berbasis gender.
Adapun kasus-kasus tersebut berupa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perkawinan anak, dan perkawinan paksa di 10 kamp pengungsian.
Bahkan ironisnya lagi, sebuah studi yang dilakukan Universitas Indonesia menunjukkan ada hubungan yang erat antara tingginya bencana alam dan perkawinan anak.
Baca Juga: TikTok Lakukan Ini Ketika Kekerasan Berbasis Gender Online Meningkat 4 Kali Lipat
Perkawinan anak dipercayai sebagai salah satu bentuk strategi menghadapi ketidakpastian ekonomi keluarga akibat bencana, yaitu dengan mengurangi “jumlah mulut yang harus diberi makan”.
Dampaknya adalah perempuan dan anak perempuan semakin sulit mengakses pertolongan dan bantuan, sehingga semakin mengancam penghidupan, kesejahteraan dan pemulihan mereka, serta menciptakan lingkaran setan kerentanan terhadap bencana di masa depan.
Terbatasnya akses terhadap sumber daya alam, perempuan dan anak yang lebih rentan jadi korban bencana hingga kekerasan berbasis gender saat bencana terjadi hanyalah segelintir contoh kecil dari dampak perubahan iklim terhadap ketidaksetaraan gender.
Penting untuk diingat bahwa ketidaksetaraan gender merupakan faktor yang memperkuat dampak negatif perubahan iklim.
Dengan menyadari kaitan ini dan berupaya mewujudkan kesetaraan gender, kita tidak hanya dapat menciptakan dunia yang lebih adil dan merata.
Namun juga memberdayakan perempuan untuk menjadi pemain kunci dalam membangun masa depan yang lebih berkelanjutan bagi semua orang.
(*)