Tak Ada Lagi Ruang untuk Hinaan Tobrut, Kini Pelecehan Seksual secara Verbal Bisa Dipidana!

Citra Narada Putri - Rabu, 31 Juli 2024
Pelecehan seksual secara verbal kini bisa dipenjara.
Pelecehan seksual secara verbal kini bisa dipenjara. (spukkato/Getty Images)

Parapuan.co - Menjadi perempuan tak pernah ada habisnya jadi sasaran pelecehan, bukan hanya fisik, tapi juga verbal.

Bahkan, pelecehan pada perempuan terjadi lintas medium, baik secara langsung hingga di dunia maya.

Misal saja panggilan 'tobrut' yang belakangan viral di media sosial, yang disampaikan untuk melecehkan perempuan dengan payudara besar.

Namun, penderitaan perempuan sebagai korban pelecehan seksual mulai terkikis dengan adanya perubahan. 

Dalam perkembangan hukum yang semakin progresif, tindakan pelecehan verbal kini tidak lagi dianggap sepele.

Perubahan dalam regulasi hukum telah memberikan payung hukum bagi korban pelecehan verbal, sehingga pelaku dapat dijerat secara pidana.

Ini merupakan langkah maju yang signifikan dalam upaya menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan verbal.

Pasalnya, melansir Kompas.com, pelaku pelecehan verbal bisa terjerat pindana berdasarkan Undang-Undang Tindak Pindana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Dalam UU TPKS Pasal 4 ayat (1) ada 9 jenis tindak pidana pelecehan seksual.

Baca Juga: Rumitnya Lapor Tindak Pidana Kekerasan Seksual: Saat Jurnalis Perempuan Direkam Ilegal di KRL

Salah satunya adalah pelecehan seksual non-fisik yang diatur pada Pasal 5 UU TPKS berbunyi: “Setiap Orang yang melakukan perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat seseorang berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya, dipidana karena pelecehan seksual nonfisik, dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) bulan dan/ atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).” Tujuan dibentuknya undang-undang adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat agar tertib dan mengikuti norma serta melindungi warga.

Sebelum adanya UU TPKS, pelecehan seksual non-fisik seringkali dianggap sepele dan sulit dibuktikan.

Namun, dengan adanya UU ini, pemerintah menunjukkan komitmennya untuk memberikan perlindungan maksimal bagi korban kekerasan seksual, termasuk mereka yang mengalami pelecehan verbal.

Penjelasan Pasal 5 UU TPKS dijelaskan bahwa “Yang dimaksud dengan perbuatan seksual secara nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.”

Jika Kawan Puan mengacu penjelasan tersebut, tentu akan sulit bagi korban untuk membuktikan tindak pidana ketika melaporkan ke pihak kepolisian.

Kendati demikian, kendala alat bukti tersebut telah diantisipasi lewat aturan Pasal 24 UU TPKS yang berbunyi:

(1) Alat bukti yang sah dalam pembuktian Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas: alat bukti sebagaimana dimaksud dalam hukum acara pidana; alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan; dan barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana atau sebagai hasil Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan/atau benda atau barang yang berhubungan dengan tindak pidana tersebut.

(2) Termasuk alat bukti keterangan Saksi yaitu hasil pemeriksaan terhadap Saksi dan/atau Korban pada tahap penyidikan melalui perekaman elektronik.

Baca Juga: Cegah Pelecehan di Lembaga Internal, Komnas HAM Desak Penyelenggara Pemilu Bentuk Satgas TPKS

(3) Termasuk alat bukti surat, yaitu:

  1. surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa;
  2. rekam medis;
  3. hasil pemeriksaan forensik; dan/atau
  4. hasil pemeriksaan rekening bank.

Adapun pengertian bukti informasi elektronik/dokumen elektronik sudah diatur dalam UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE yang terdapat pada pasal 1 angka 1 dan 4, yaitu:

“Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

“Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.”

Maka jika Kawan Puan menjadi korban pelecehan seksual non-fisik, dapatkan bukti rekaman/foto saat terjadinya peristiwa tersebut.

Kemudian kamu bisa melaporkan tindakan kekerasan seksual non-fisik yang dialami ke pihak Kepolisian.

Kendati demikian, laporan Kepolisian tersebut saat ini hanya dapat dilaporkan ke polisi setingkat Polres/Polda.

Hal ini dikarenakan unit yang menangani laporan UU TPKS hanya terdapat di tingkat Polres/Polda, yaitu Unit Perlindungan Anak dan Perempuan (PPA).

(*)

Baca Juga: 3 Rekomendasi Buku yang Membahas Isu Pemberdayaan Perempuan, Apa Saja?



REKOMENDASI HARI INI

Borong Perlengkapan Ibu dan Bayi di Waktunya IMBEX Berd15kon!