Baca Juga: Suara yang Terabaikan: Ini Realitas Suram Anak dalam Ancaman Kekerasan
Studi ini menganalisis prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan yang dialami oleh anak perempuan berusia 15-19 tahun yang pernah berhubungan intim.
Studi juga mengidentifikasi faktor sosial, ekonomi, dan budaya tertentu yang meningkatkan risiko kekerasan dalam hubungan intum di kalangan remaja.
WHO memperkirakan, tingkat kekerasan dalam hubungan intim tertinggi berada di wilayah Oseania (47 persen) dan Afrika Sub-Sahara bagian tengah (40 persen).
Sementara tingkat kekerasan terendah ditemukan di Eropa Tengah (10 persen) dan Asia Tengah (11 persen).
Analisis baru menunjukkan bahwa kekerasan pasangan intim terhadap gadis remaja paling umum terjadi di negara dan kawasan berpendapatan rendah, di mana jumlah anak perempuan di sekolah menengah lebih sedikit.
Di wilayah tersebut, anak perempuan biasanya memiliki hak kepemilikan properti dan hak waris yang lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki.
Pernikahan dini (sebelum usia 18 tahun) secara signifikan meningkatkan risiko kekerasan fisik dan/atau seksual, karena kesenjangan gender, ketergantungan ekonomi, dan isolasi sosial yang diakibatkannya.
Studi ini menyoroti pula kebutuhan untuk memperkuat layanan dukungan dan langkah-langkah pencegahan dini yang dirancang khusus untuk remaja, agar terhindar dari kekerasan fisik dan/atau seksual.
Selain itu, WHO juga menekankan pentingnya mendidik anak laki-laki dan perempuan tentang hubungan yang sehat tanpa kekerasan fisik dan/atau seksual.
Baca Juga: Bangun Tembok Perlindungan: Ini Peran Perempuan Mencegah Kekerasan pada Anak
(*)