Lebih lanjut, data ILO menunjukkan bahwa perbedaan gender ternyata memberikan dampak berbeda akibat automasi pekerjaan dengan AI.
Bagaimana tidak, sebanyak 7,9 persen pekerja perempuan di negara maju lebih banyak terdampak otomatisasi pekerjaan dengan AI ketimbang laki-laki dengan persentase 2,9 persen.
Sedangkan untuk wilayah negara berkembang, sebanyak 2,7 persen perempuan lebih terdampak AI ketimbang laki-laki dengan persentase 3,1 persen.
Menurut Arturo Bris, penggunaan AI untuk perekrutan, promosi, dan evaluasi kerja diperlukan evaluasi ulang agar tidak terjadi diskriminasi gender, imbas algoritma kecerdasan buatan yang dipakai.
Pemerintah disarankan untuk mengambil kebijakan dan segera melakukan antisipasi.
Misal, menyiapkan pelatihan ulang tenaga kerja atau penanggulangan terhadap tingkat pengangguran dari mereka yang terdampak AI.
Langkah pencegahan ini diperlukan untuk mencegah gejolak sosial yang berdampak pada kemampuan suatu negara untuk menarik talenta asing.
"Sebab, tenaga ahli asing kurang berminat untuk masuk ke negara-negara yang memiliki masalah sosial, sehingga mereka memilih lari ke negara lain. Kurangnya daya tarik ini ujungnya akan berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi," pungkasnya.
Baca Juga: Tuntutan Atasan dan 3 Penyebab Perempuan Kerja Alami Stres di Kantor
(*)