Parapuan.co - Banyak tantangan yang dihadapi perempuan kerja dalam berbagai bidang.
Mulai dari kesenjangan upah, stereotip gender, hingga hal-hal lain yang lebih kompleks.
Bukan itu saja, saat ini perempuan kerja juga dihadapkan dengan tantangan baru seiring berkembangnya teknologi.
Dibandingkan laki-laki, perempuan rupanya dinilai paling rentan menghadapi persaingan dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
Lantas, mengapa demikian?
Mengutip dari laman Kompas.com, Direktur IMD World Competitiveness Center (WCC), Arturo Bris, mengatakan bahwa kecerdasan buatan memang menjanjikan efisiensi dan meningkatkan produktivitas.
Namun, penggunaan AI juga mengancam sejumlah lapangan pekerjaan, khususnya sektor-sektor yang bergantung pada pekerjaan repetitif yang bisa diotomatisasi.
"Pekerja perempuan paling terdampak oleh perubahan ini," ujar Arturo Bris.
Lebih dalam, Arturo Bris menambahkan bahwa terdapat tiga poin penting dalam pengaruh AI terhadap ketersediaan lapangan kerja.
Baca Juga: Perempuan Kerja Harus Tahu 5 Cara Menjaga Kesehatan Mental di Kantor
Adapun tiga poin penting yang dimaksud yakni:
1. Menghilangkan Sejumlah Lapangan Kerja
Tantangan pertama dari pengaruh AI terhadap perempuan kerja adalah hilangnya sejumlah lapangan kerja yang ada.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memikirkan bagaimana cara untuk membuka lapangan kerja baru.
2. Lapangan Kerja di Negara Maju Lebih Terdampak
Berdasarkan data dari Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) dan PBB, AI akan mengubah atau menggantikan 5,5 persen pekerjaan di negara berpendapatan tinggi, serta hanya kurang dari 0,4 persen di negara berpendapatan rendah.
"Negara berpendapatan rendah lebih sedikit terdampak karena terbatasnya akses teknologi," ujarnya.
3. Memperburuk Inklusi dan Menciptakan Diskriminasi Pekerja Perempuan
Baca Juga: 5 Negara Ini Izinkan Pekerja Abaikan Panggilan Atasan di Luar Jam Kerja
Lebih lanjut, data ILO menunjukkan bahwa perbedaan gender ternyata memberikan dampak berbeda akibat automasi pekerjaan dengan AI.
Bagaimana tidak, sebanyak 7,9 persen pekerja perempuan di negara maju lebih banyak terdampak otomatisasi pekerjaan dengan AI ketimbang laki-laki dengan persentase 2,9 persen.
Sedangkan untuk wilayah negara berkembang, sebanyak 2,7 persen perempuan lebih terdampak AI ketimbang laki-laki dengan persentase 3,1 persen.
Menurut Arturo Bris, penggunaan AI untuk perekrutan, promosi, dan evaluasi kerja diperlukan evaluasi ulang agar tidak terjadi diskriminasi gender, imbas algoritma kecerdasan buatan yang dipakai.
Pemerintah disarankan untuk mengambil kebijakan dan segera melakukan antisipasi.
Misal, menyiapkan pelatihan ulang tenaga kerja atau penanggulangan terhadap tingkat pengangguran dari mereka yang terdampak AI.
Langkah pencegahan ini diperlukan untuk mencegah gejolak sosial yang berdampak pada kemampuan suatu negara untuk menarik talenta asing.
"Sebab, tenaga ahli asing kurang berminat untuk masuk ke negara-negara yang memiliki masalah sosial, sehingga mereka memilih lari ke negara lain. Kurangnya daya tarik ini ujungnya akan berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi," pungkasnya.
Baca Juga: Tuntutan Atasan dan 3 Penyebab Perempuan Kerja Alami Stres di Kantor
(*)