Studi Shana Conroy, Canadian Centre for Justice and Community Safety Statistics, menunjukkan bahwa perempuan lebih rentan mengalami dampak emosional negatif dari kekerasan pasangan.
Kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan dari pasangannya disebut menyebabkan isolasi, depresi, serangan kecemasan, bahkan pemikiran untuk bunuh diri.
Mengutip laporan "Report on Violence Against Women, Mental Health and Substance Use" (2011), sebanyak 50 persen perempuan yang pernah mengalami kekerasan juga telah menerima diagnosis terkait kesehatan mental.
Lebih lanjut, perempuan dengan disabilitas terkait kesehatan mental lebih mungkin mengalami kekerasan dibandingkan laki-laki dengan kondisi serupa, terutama kekerasan seksual.
Risiko depresi, PTSD, penyalahgunaan zat, atau kecenderungan bunuh diri tiga hingga lima kali lebih tinggi pada perempuan yang pernah mengalami kekerasan.
Laporan yang sama mencatat pula bahwa lebih dari separuh perempuan yang berlindung di Canadian Women's Foundation mengalami depresi berat, dan lebih dari 33 persen menghadapi PTSD (gangguan stres pascatrauma).
Tantangan dalam Mengakses Layanan Kesehatan Mental
Tidak mengaitkan kesehatan mental dengan kekerasan bisa membuat perempuan salah diagnosis atau tidak mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.
Perempuan yang mengalami kekerasan dan menerima diagnosis terkait kesehatan mental sering kali diberi label sebagai "sulit untuk diajak bekerja sama", sehingga mereka bisa saja ditolak oleh layanan yang ada.