Terkait pelibatan perempuan dalam AKD ini pun telah tercantum dalam Putusan MK No.82/PUU-XII/2014 yang menyebutkan komposisi pimpinan AKD dengan kewajiban memenuhi keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
Menteri PPPA Arifatul Fauzi menambahkan, "Kita juga telah mengikuti bersama proses mekanisme internal DPR RI pasca pelantikan, yaitu pembentukan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR RI, yang terdiri dari 13 komisi dan 7 badan."
"Dalam periode 2019-2024, hanya 11 dari 87 pimpinan AKD yang merupakan legislator perempuan. Namun, dalam periode 2024-2029, keterwakilan perempuan meningkat menjadi 14 dari 70 pimpinan DPR dan komisi, serta 7 dari 35 pimpinan badan," terangnya.
"Meskipun ada kemajuan, legislator perempuan tetap tidak terwakili di beberapa posisi strategis, termasuk pimpinan Badan Anggaran, Badan Legislasi, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, dan Mahkamah Kehormatan Dewan, serta di Komisi I, II, V, VIII, XI dan XIII," tuturnya lagi.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno mengungkapkan terkait dengan keterwakilan perempuan di parlemen, tidak boleh ada domestifikasi perempuan dalam jabatan publik tertentu saja, serta harus ada kesempatan bagi perempuan yang setara.
Hal ini sejalan dengan kebijakan affirmative action yang mengutamakan kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara.
"Kepercayaan terhadap perempuan di jabatan eksekutif terbukti mampu dilaksanakan dengan baik. Sementara itu, di legislatif lahir beberapa rancangan undang-undang pro terhadap perlindungan perempuan yang telah secara konsisten diperjuangkan. Saat ini, melihat perkembangan yang terjadi, membedakan jabatan untuk laki-laki dan perempuan tak lagi relevan sebab sudah banyak yang membuktikan bahwa keterwakilan perempuan dalam berbagai bidang terutama parlemen telah mampu menghasilkan beberapa kebijakan inklusif," terang Eddy.
Lebih lanjut, sesi talkshow tersebut juga menghasilkan sejumlah highlight hasil rekomendasi, terutama untuk pemerintah dan parlemen yang perlu memperkuat kerangka kebijakan afirmasi yang memungkinkan terbentuknya ekosistem bagi perempuan untuk mendapat kesempatan adil dan setara dalam politik.
Fokusnya tidak cukup hanya di perbaikan statistik, melainkan pada pendekatan yang interseksional terutama di dalam kepengurusan dan proses-proses internal partai politik; sejalan dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU/XII/2014 dan No. 89/PUU/XII/2014.
Bahwasanya, parlemen harus memperkuat kerangka peraturan perundang-undangan yang mengutamakan keterwakilan perempuan secara proporsional di legislatif, eksekutif, dan yudikatif melalui amandemen Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Partai Politik, dan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3); serta partai politik di parlemen (sebagai fraksi) wajib memastikan proporsionalitas keterwakilan perempuan baik sebagai pimpinan maupun anggota alat kelengkapan di parlemen.
Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di DPR RI Periode 2024-2029 Terbanyak Sepanjang Sejarah
(*)