KemenPPPA: Keterwakilan Perempuan di Parlemen Bukan Sebatas Penuhi Kuota 30 Persen

Arintha Widya - Jumat, 8 November 2024
KemenPPPA berupaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen untuk inklusifitas.
KemenPPPA berupaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen untuk inklusifitas. Kemenpppa.go.id

Parapuan.co - Kawan Puan, berbicara mengenai keterwakilan perempuan di parlemen bukan hanya tentang memenuhi kuota sebesar 30 persen.

Hal itulah yang ditegaskan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Arifatul Choiri Fauzi melalui siaran pers Kementerian PPPA, Rabu (6/11/2024), sebagaimana dikutip dari laman resmi.

Arifatul Fauzi menyatakan upaya meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen bukan hanya tentang memenuhi angka atau kuota 30 persen.

Akan tetapi, hal tersebut juga tentang mewujudkan parlemen yang benar-benar inklusif terhadap seluruh masyarakat Indonesia.

Menurut Menteri PPPA Arifatul Fauzi, perbedaan kebutuhan, pengalaman, dan perspektif antara perempuan dan laki-laki dapat memberikan referensi bagi legislator perempuan dalam meningkatkan kualitas kinerja lembaga legislatif, baik dalam fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran.

"Dalam perspektif keterwakilan perempuan pada lembaga DPR RI, terdapat tren kenaikan keterwakilan perempuan di parlemen," kata Arifatul Fauzi saat membuka seminar "Srikandi Perempuan Dalam Kancah Politik; Keterwakilan Perempuan dalam Pimpinan Alat Kelengkapan DPR RI 2024-2029".

"Apabila dalam Pemilu 2019, perempuan menduduki 120 kursi dalam Lembaga DPR, maka pada Pemilu tahun ini perempuan memperoleh kenaikan menjadi 127 kursi dari total 580 kursi yang tersedia," lanjutnya.

Menteri PPPA juga mengatakan, "Ini menjadi sebuah catatan yang baik dalam upaya bersama meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen."

"Ini waktunya kita teruskan perjuangan bukan hanya untuk memenuhi kuota perempuan, dan bukan hanya ditujukan dalam konteks kesetaraan gender, namun juga dimaksudkan untuk menghasilkan parlemen yang lebih inklusif," ujarnya lagi.

Baca Juga: Menyambut Pemilu 2024, Mengapa Begitu Susah Memilih Perempuan?

Menteri PPPA mengatakan, meski masih di bawah angka 30 persen keterwakilan caleg perempuan, ini merupakan kursi terbanyak yang pernah diraih perempuan dalam sejarah pemilu pasca reformasi.

"Dengan memastikan perempuan memiliki jumlah yang layak di parlemen, kita dapat menciptakan kebijakan yang mewakili perempuan," tambah Menteri PPPA.

"Saya ingin menegaskan sekali lagi bahwa Kemen PPPA memiliki komitmen yang kuat untuk bersinergi bersama instansi pemerintah dan masyarakat sipil, untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di sektor politik maupun profesional," jelasnya.

"Oleh karena itu, upaya peningkatan keterwakilan perempuan harus menjadi prioritas nasional, bukan hanya sebagai bagian dari komitmen terhadap kesetaraan gender, tetapi juga sebagai langkah penting menuju demokrasi yang lebih baik," papar Arifatul Fauzi.

Menteri PPPA menyebutkan pula bahwa Pemilu 2024 telah menyisakan pekerjaan rumah dalam memperjuangkan partisipasi perempuan yang lebih baik dalam politik.

Pentingnya kebijakan afirmasi bagi perempuan, penguatan perlindungan hukum dalam bidang bidang politik kepada perempuan dan pembangunan alat audit keamanan gender adalah beberapa agenda yang perlu kita perjuangkan bersama.

Dalam hal Alat Kelengkapan Dewan (AKD), Menteri PPPA menyatakan AKD merupakan instrumen bagi DPR dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

Oleh karena itu, keberadaan legislator perempuan dalam AKD menjadi sangat penting untuk turut serta dalam pengambilan keputusan.

Komitmen partai politik terhadap keterwakilan perempuan dalam AKD menjadi sangat penting mengingat peran strategis partai politik dalam menentukan pengisian anggota dan pimpinan AKD.

Baca Juga: Angka Keterwakilan Perempuan di Parlemen: Indonesia Tertinggal Jauh

Terkait pelibatan perempuan dalam AKD ini pun telah tercantum dalam Putusan MK No.82/PUU-XII/2014 yang menyebutkan komposisi pimpinan AKD dengan kewajiban memenuhi keterwakilan perempuan menurut perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.

Menteri PPPA Arifatul Fauzi menambahkan, "Kita juga telah mengikuti bersama proses mekanisme internal DPR RI pasca pelantikan, yaitu pembentukan Alat Kelengkapan Dewan (AKD) DPR RI, yang terdiri dari 13 komisi dan 7 badan."

"Dalam periode 2019-2024, hanya 11 dari 87 pimpinan AKD yang merupakan legislator perempuan. Namun, dalam periode 2024-2029, keterwakilan perempuan meningkat menjadi 14 dari 70 pimpinan DPR dan komisi, serta 7 dari 35 pimpinan badan," terangnya.

"Meskipun ada kemajuan, legislator perempuan tetap tidak terwakili di beberapa posisi strategis, termasuk pimpinan Badan Anggaran, Badan Legislasi, Badan Akuntabilitas Keuangan Negara, dan Mahkamah Kehormatan Dewan, serta di Komisi I, II, V, VIII, XI dan XIII," tuturnya lagi.

Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI, Eddy Soeparno mengungkapkan terkait dengan keterwakilan perempuan di parlemen, tidak boleh ada domestifikasi perempuan dalam jabatan publik tertentu saja, serta harus ada kesempatan bagi perempuan yang setara.

Hal ini sejalan dengan kebijakan affirmative action yang mengutamakan kesadaran bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara.

"Kepercayaan terhadap perempuan di jabatan eksekutif terbukti mampu dilaksanakan dengan baik. Sementara itu, di legislatif lahir beberapa rancangan undang-undang pro terhadap perlindungan perempuan yang telah secara konsisten diperjuangkan. Saat ini, melihat perkembangan yang terjadi, membedakan jabatan untuk laki-laki dan perempuan tak lagi relevan sebab sudah banyak yang membuktikan bahwa keterwakilan perempuan dalam berbagai bidang terutama parlemen telah mampu menghasilkan beberapa kebijakan inklusif," terang Eddy.

Lebih lanjut, sesi talkshow tersebut juga menghasilkan sejumlah highlight hasil rekomendasi, terutama untuk pemerintah dan parlemen yang perlu memperkuat kerangka kebijakan afirmasi yang memungkinkan terbentuknya ekosistem bagi perempuan untuk mendapat kesempatan adil dan setara dalam politik.

Fokusnya tidak cukup hanya di perbaikan statistik, melainkan pada pendekatan yang interseksional terutama di dalam kepengurusan dan proses-proses internal partai politik; sejalan dengan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU/XII/2014 dan No. 89/PUU/XII/2014.

Bahwasanya, parlemen harus memperkuat kerangka peraturan perundang-undangan yang mengutamakan keterwakilan perempuan secara proporsional di legislatif, eksekutif, dan yudikatif melalui amandemen Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang Pilkada, Undang-Undang Partai Politik, dan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3); serta partai politik di parlemen (sebagai fraksi) wajib memastikan proporsionalitas keterwakilan perempuan baik sebagai pimpinan maupun anggota alat kelengkapan di parlemen.

Baca Juga: Keterwakilan Perempuan di DPR RI Periode 2024-2029 Terbanyak Sepanjang Sejarah

(*)

Sumber: kemenpppa.go.id
Penulis:
Editor: Arintha Widya


REKOMENDASI HARI INI

Saring Sebelum Sharing, TikTok Punya Fitur Cegah Penyebaran Hoaks