Pasalnya, pada masa kampanye tidak hanya diwarnai oleh perdebatan mengenai kebijakan dan visi masa depan, tetapi juga mencuatnya isu seksisme dan rasisme yang masih mengakar dalam politik AS.
Kekalahan ini, bagi banyak pengamat, mengingatkan pada kekalahan Hillary Clinton dalam pemilu 2016.
Di mana seksisme dan rasisme masih menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi politik yang berkembang di negeri Paman Sam.
Rasisme dan Seksisme: Dinamika yang Tidak Pernah Hilang
Berdasarkan analisis Tresa Undem, seorang peneliti opini publik, ras dan gender masih menjadi faktor yang sangat memengaruhi dinamika politik di AS.
Harris, meskipun memiliki rekam jejak yang cemerlang sebagai jaksa dan senator, tetap tidak lepas dari kritik tajam yang kerap kali terkontaminasi oleh prasangka rasial dan seksis.
Salah satu bentuk penghinaan yang mencuat adalah pernyataan Donald Trump yang menyebut Harris sebagai "orang paling bodoh dalam sejarah negara ini," dengan menekankan aspek IQ rendah.
Pernyataan seperti ini bukan hanya menyerang kapasitas intelektualnya, tetapi juga mencerminkan bagaimana seksisme dan rasisme saling bersinergi untuk mereduksi kredibilitas dan elektabilitas seorang perempuan, apalagi yang berasal dari kelompok etnis minoritas.
Baca Juga: Profil Kamala Harris, Wapres Joe Biden yang Bakal Maju Jadi Capres AS