Parapuan.co - Kekalahan Kamala Harris dalam pemilihan presiden 2024 menambah panjang daftar kegagalan Amerika Serikat dalam memilih pemimpin perempuan.
Meskipun negara ini sering dianggap sebagai kiblat kesetaraan gender, Amerika Serikat belum pernah dipimpin oleh seorang perempuan, dengan seluruh presiden yang pernah menjabat merupakan laki-laki.
Padahal seperti yang tercermin dari Amandemen ke-19, telah memberi hak pilih kepada perempuan sejak 1879.
Seratus tahun setelah amandemen ini diratifikasi, sekitar setengah dari warga AS menilai pemberian hak pilih kepada perempuan sebagai tonggak penting dalam memajukan posisi perempuan di negara ini.
Namun, meskipun sebagian besar mengakui ada kemajuan dalam beberapa dekade terakhir, survei terbaru dari Pew Research Center menunjukkan bahwa mayoritas orang dewasa di AS merasa negara ini belum cukup jauh melangkah dalam memberikan hak yang setara bagi perempuan dengan laki-laki.
Kekalahan Kamala Harris dalam Pemilu Presiden 2024 menorehkan luka tidak hanya bagi Partai Demokrat, tetapi juga bagi upaya kesetaraan gender dan ras di Amerika Serikat (AS).
Melansir dari Kompas.com, Kamala Harris, yang mencatat sejarah sebagai perempuan pertama keturunan Afrika dan Asia Selatan yang mencalonkan diri sebagai presiden, harus menerima kenyataan pahit.
Ia gagal mengalahkan Donald Trump dalam kontestasi yang sangat sengit ini.
Sebagai perempuan pertama juga yang mencalonkan diri dengan latar belakang etnis minoritas, Harris menghadapi tantangan yang lebih besar dibandingkan lawan-lawannya.
Baca Juga: Apa yang Terjadi Jika Kamala Harris Jadi Presiden Perempuan Pertama Amerika?
Pasalnya, pada masa kampanye tidak hanya diwarnai oleh perdebatan mengenai kebijakan dan visi masa depan, tetapi juga mencuatnya isu seksisme dan rasisme yang masih mengakar dalam politik AS.
Kekalahan ini, bagi banyak pengamat, mengingatkan pada kekalahan Hillary Clinton dalam pemilu 2016.
Di mana seksisme dan rasisme masih menjadi bagian tak terpisahkan dari narasi politik yang berkembang di negeri Paman Sam.
Rasisme dan Seksisme: Dinamika yang Tidak Pernah Hilang
Berdasarkan analisis Tresa Undem, seorang peneliti opini publik, ras dan gender masih menjadi faktor yang sangat memengaruhi dinamika politik di AS.
Harris, meskipun memiliki rekam jejak yang cemerlang sebagai jaksa dan senator, tetap tidak lepas dari kritik tajam yang kerap kali terkontaminasi oleh prasangka rasial dan seksis.
Salah satu bentuk penghinaan yang mencuat adalah pernyataan Donald Trump yang menyebut Harris sebagai "orang paling bodoh dalam sejarah negara ini," dengan menekankan aspek IQ rendah.
Pernyataan seperti ini bukan hanya menyerang kapasitas intelektualnya, tetapi juga mencerminkan bagaimana seksisme dan rasisme saling bersinergi untuk mereduksi kredibilitas dan elektabilitas seorang perempuan, apalagi yang berasal dari kelompok etnis minoritas.
Baca Juga: Profil Kamala Harris, Wapres Joe Biden yang Bakal Maju Jadi Capres AS
Menurut Tammy Vigil, profesor di Boston University, kekalahan Harris mengungkapkan betapa kuatnya pengaruh prasangka terhadap perempuan dan etnis minoritas.
Meskipun memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni, tetap sulit untuk diterima oleh sebagian besar pemilih.
Dalam konteks ini, Harris bukan sekadar korban dari perdebatan politik, tetapi juga simbol dari perjuangan panjang yang harus dihadapi perempuan dan kelompok minoritas untuk memperoleh tempat yang setara di panggung politik negara adidaya ini.
Melanjutkan Perdebatan Seksisme dan Rasisme
Meski Harris gagal mencapai puncak tertinggi di dunia politik, perdebatan mengenai seksisme dan rasisme di AS tampaknya akan terus bergulir.
Tammy Vigil berpendapat bahwa meskipun faktor seksisme dan rasisme menjadi tantangan besar bagi Harris, perjuangan untuk mewujudkan keadilan sosial dan kesetaraan gender di AS masih jauh dari selesai.
Kegagalan Harris, dengan segala kontoversi dan diskusi yang muncul, dapat menjadi pendorong bagi gerakan-gerakan keadilan sosial di masa depan, yang lebih mengedepankan kesetaraan tanpa memandang gender maupun ras.
Kekalahan ini menunjukkan betapa jauh perjalanan yang masih harus ditempuh untuk mencapai kesetaraan sejati.
Amerika Serikat, yang sering dianggap sebagai kiblat kesetaraan gender, masih jauh dari kata sempurna dalam mewujudkan politik yang inklusif bagi semua kalangan.
Namun, dengan terus mempertanyakan dan menggugat sistem yang ada, perubahan yang lebih inklusif bukanlah hal yang mustahil.
(*)
Baca Juga: Megah dan Meriah, Kamala Harris Puji Kesuksesan Gala Dinner KTT ASEAN 2023 di Jakarta
Ken Devina