Parapuan.co - Kawan Puan, saat ini sedang berlangsung masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Pilkada Serentak 2024 ini adalah untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota.
Pilkada 2024 dijadwalkan berlangsung secara serentak di 545 daerah yang terdiri dari 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota pada 27 November 2024.
Di Pilkada 2024 kali ini, jumlah calon kepala daerah perempuan yang ikut dalam kontestasi hanya sekitar 10,66 persen sebagaimana dikutip dari laman Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Terkait hal ini, Komnas Perempuan memantau dan menerima sejumlah informasi terkait dengan pelaksanaan kampanye, yang tercatat masih menormalisasi diskriminasi dan kekerasan berbasis gender berupa pernyataan seksisme, subordinasi perempuan, dan kekerasan seksual.
Salah satu yang beberapa waktu lalu sempat viral, yaitu pernyataan Calon Wakil Gubernur Jakarta nomor urut 1 Suswono, yang menyebut agar janda kaya menikahi pengangguran.
Kemudian ada Calon Gubernur Independen, Dharma mengatakan guru-guru perempuan sengaja ditempatkan di Taman Kanak-kanak untuk menyiapkan anak-anak menjadi bagian dari komunitas LGBT sejak dini.
Selanjutnya, Calon Wakil Gubernur Banten, Dimyati Natakusumah juga melontarkan bahwa perempuan jangan diberi beban berat, apalagi menjadi gubernur.
Ada juga baliho bernada seksis dari pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Sleman, Harda Kiswaya - Danang Maharsa yang bertuliskan 'Milih Imam (Pemimpin) Kok Wedok. Jangan Ya Dik Ya! Imam (Pemimpin) Kudu Lanang' yang berarti 'Memilih imam (pemimpin) kok perempuan. Jangan ya dik ya! Imam (pemimpin) harus pria'.
Baca Juga: Ada Paslon Singgung Isu Seksis di Pilkada 2024, 5 Pemimpin Perempuan Ini Buktikan Sukses
Komnas Perempuan juga menyoroti pernyataan "tusuk di tengah yang sedap" dari pasangan kandidat Murad-Michael dari Maluku pada debat terbuka.
Komnas Perempuan menyesalkan pernyataan yang disampaikan oleh para Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah pada pelaksanaan kampanye dan debat publik.
Pasalnya, masih banyak yang tidak mematuhi ketentuan tentang materi kampanye sebagaimana disebutkan pada pasal 17 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024.
Kasus-kasus tersebut merupakan bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan di dalam penyelenggaraan pemilihan umum yang bertentangan norma-norma HAM internasional maupun Konstitusi RI.
Berdasarkan hasil pemantauan hak perempuan dalam pemilu, Komnas Perempuan mendefinisikan kekerasan terhadap perempuan dalam kontestasi elektoral sebagai berikut:
"Segala bentuk kekerasan yang ditujukan pada perempuan karena ia perempuan, atau kekerasan yang mempengaruhi perempuan secara tidak proporsional karena partisipasi dan/atau aspirasi mereka untuk mendapatkan jabatan politik dan/atau terlibat dalam aktivitas politik dalam penyelenggaraan Pemilu. Kekerasan ditujukan untuk membatasi, menghalangi dan melemahkan perempuan sehingga tidak setara dalam memilih, dipilih, mencalonkan diri, berkampanye, berserikat, berkumpul, berekspresi atau berpendapat atas dirinya sendiri." (Komnas Perempuan:2021).
Berdasarkan hasil kajian dan pemantauan Komnas Perempuan tinjauan dari berbagai literatur, kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dalam Pemilu berkaitan erat dengan ragam bentuk kekerasan yang acap menyerang perempuan, baik di ranah personal, publik, maupun negara.
Bentuk-bentuk kekerasan yang dimaksud terlihat dari sejumlah hal yang melansir siaran pers Komnas Perempuan sebagai berikut:
(1) Kekerasan fisik seperti menampar, mencekik, memukul, dan lainnya yang bertujuan untuk menghalangi, merintangi atau mengurangi martabat perempuan dalam Pemilu;
Baca Juga: 11 Isu Darurat Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan yang Teridentifikasi
(2) Pelecehan (harassment); termasuk di dalamnya segala tindakan yang tidak pantas, menurunkan moral, mencemarkan nama baik dan mempermalukan korban;
(3) Fitnah dan hasutan untuk melakukan kekerasan;
(4) Penyerangan karakter dan penghinaan gender;
(5) Pemerkosaan pada calon kandidat perempuan peserta Pemilu;
(6) Pemerasan bernuansa seksual;
(7) Pengekangan, pembatasan gerak, penculikan, termasuk di dalamnya penahanan dengan semewenang-wenang, terhadap perempuan;
(8) Rayuan, komentar, dan ujaran seksual yang tidak diinginkan (sexist remarks);
(9) Intimidasi, persekusi dan ancaman;
(10) Penghilangan mata pencarian dan pemindahan tempat tinggal;
Baca Juga: Praktik Impunitas dan Berbagai Tantangan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan
(11) Pengawasan yang bias gender, baik oleh publik ataupun media (gender-biased scrutiny by the public and the media);
(12) Dipaksa mengundurkan diri (forced resignations);
(13) Kekerasan seksual berbasis elektronik, seperti postingan dokumen rekayasa bernuansa seksual;
(14) Pembunuhan politisi perempuan (assassinations of women politicians/femisida).
Komnas Perempuan menyesalkan masih terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan pemilu seperti yang disebutkan di atas.
Terlebih jika mengingat dampak serius dari situasi tersebut, yang tidak hanya dapat dilihat dari kerugian materil/fisik dan psikis, namun juga secara sosial dan politik.
Kekerasan terhadap perempuan dalam Pemilu akan berakibat sistematis pada berkurangnya partisipasi perempuan dalam pemilu, ketidakpercayaan masyarakat terhadap kandidat perempuan, hingga sulitnya politisi perempuan untuk mengembangkan aktivitas politik mereka.
Serangkaian dampak tersebut tentu akan berkonsekuensi pada berkurangnya kualitas demokrasi dan penyelenggaraan pemilu.
Komnas Perempuan juga menerima pengaduan terkait adanya kekerasan yang ditujukan kepada perempuan di tahapan kampanye, karena dituduh tidak mendukung salah satu kandidat.
Baca Juga: 10 Agenda Penghapusan Kekerasan yang Diajukan Komnas Perempuan untuk DPR 2024-2029
Termasuk potensi penggunaan politik identitas berbasis suku, agama, identitas gender dan lain sebagainya.
Pernyataan Sikap Komnas Perempuan Terkait Kekerasan terhadap Perempuan di Pilkada 2024
Berdasarkan pertimbangkan di atas, Komnas Perempuan menyatakan dan merekomendasikan hal-hal di bawah ini:
1. Komnas Perempuan mengapresiasi Komisi Pemilihan Umum yang telah menghadirkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 13 Tahun 2024 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, yang memuat aturan materi kampanye harus menggunakan bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah dengan kalimat yang sopan, santun, patut, dan pantas disampaikan, diucapkan, dan/atau ditampilkan kepada umum.
Komnas Perempuan memandang penting pengimplementasiaan PKPU No. 13 Tahun 2024 oleh seluruh peserta Pilkada untuk tidak memberikan pernyataan atau ujaran yang seksis dan diskriminatif terhadap perempuan sebagaimana diamanatkan perundangan-undangan yang ada dan norma-norma HAM internasional;
2. Badan Pengawas Pemilu perlu mengenali dan melakukan pengawasan intensif pada beragam bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam penyelenggaraan Pilkada 2024;
3. Partai Politik perlu memberikan pendidikan dan pemahaman terhadap kandidat Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah yang diusung untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, menghormati dan memenuhi hak-hak perempuan;
4. Mendorong masyarakat menggunakan platform JITU (Jeli, Inisiatif, Toleran dan Ukur) sebagai acuan dalam menentukan pilihan pada Pilkada 2024;
5. Media massa dan masyarakat diharapkan ikut terus memantau penyelenggaraan Pilkada dan melaporkan pelanggaran dan kekerasan terhadap perempuan selama proses Pilkada;
Jangan ada lagi komentar seksis terkait perempuan dalam konteks apapun karena termasuk dalam tindak kekerasan terhadap perempuan, ya, Kawan Puan.
Baca Juga: Agenda Komnas Perempuan dalam Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
(*)