Baca Juga: Manfaat Hybrid Working terhadap Pemberdayaan Perempuan, Bukan Sebatas Fleksibilitas
Meski perempuan bekerja di sektor informal lebih mungkin untuk mendapatkan work life balance dibandingkan yang berkarier di sektor formal, persoalan lain boleh jadi akan muncul.
Salah satunya adalah beban mental yang lebih besar karena bekerja di sektor informal sering kali tidak memberikan stabilitas (misalnya dalam hal gaji) dibandingkan dengan di sektor formal.
Work Life Balance bagi Perempuan: Mampu Mengintegrasi Waktu
Amaryllis Esti Wijono, seorang direktur di Unilever Indonesia pernah berbicara tentang caranya mendapatkan work life balance sebagai ibu bekerja saat menjadi bintang tamu Podcast Cerita Parapuan Episode 32.
Menurutnya, keseimbangan antara kehidupan dengan pekerjaan bisa diraih dengan integrasi waktu yang tepat sesuai perannya di rumah dan tempat kerja (kantor).
"Kalau saya, work life balance itu termasuk dari sisi pengaturan waktu. Work life balance bagi saya adalah saya bisa memainkan peran di waktu-waktu yang memang bisa terintegrasi dengan sempurna," ungkap Amaryllis.
"Misalnya gini, pada saat jam bekerja saya lagi sibuk, tentunya saya akan menjadi roles sebagai pemimpin, sebagai pegawai, lebih banyak porsinya dibandingkan porsi saya sebagai ibu/istri," imbuhnya.
"Tapi begitu waktu bekerja saya sudah selesai, saya mendedikasikan waktu saya untuk menjadi porsi, peran sebagai ibu dan sebagai istri," katanya lagi.
Jadi untuk memperoleh work life balance yang bukan sekadar mitos, perempuan perlu memahami dan menggunakan porsi dari masing-masing peran yang dijalankan dengan baik.
Baca Juga: Korsel Uji Coba 4 Hari Kerja dalam Seminggu Demi Work Life Balance, Kenali Cirinya
(*)