Parapuan.co - Kawan Puan, mendapatkan keseimbangan antara karier dan kehidupan merupakan sesuatu yang didambakan setiap orang, terutama perempuan.
Terlebih lagi pada perempuan yang di luar pekerjaan, menjalani kehidupan sebagai istri dan seorang ibu.
Ketika perempuan dari sisi "life"-nya menjalani lebih dari satu peran, misalnya sebagai istri dan ibu, menyeimbangkan kehidupannya dengan pekerjaan mungkin cuma sebatas mitos.
Bagaimana tidak, saat menjalankan perannya di luar pekerjaan, perempuan harus menjadi istri, ibu, atau bahkan anak jika masih tinggal bersama orang tua dan harus menjadi caregiver.
Dengan peran tersebut, perempuan sering kali lebih mungkin mengabaikan kehidupannya sebagai pribadi atau individu demi mendahulukan kepentingan pasangan, anak, dan orang tua.
Belum lagi jika ditambah dengan peran perempuan di pekerjaannya, semisal sebagai atasan, pimpinan tim, dan mereka yang menduduki jabatan tinggi dengan tanggung jawab lebih besar.
Hal-hal di atas bisa sangat kompleks, tergantung peran perempuan di ranah pekerjaan dan kehidupan yang berbeda-beda pada setiap individu.
Oleh karenanya, salah satu dari pekerjaan atau kehidupan mungkin lebih berat porsinya, lebih diprioritaskan berdasarkan kebutuhan dan harapan perempuan.
Misalnya jika bekerja untuk bisa memberikan kehidupan lebih baik untuk anak-anaknya, maka bisa saja perempuan memprioritaskan anak alih-alih pekerjaan.
Baca Juga: Survei Ini Buktikan Hybrid Working Lebih dari Sekadar Fleksibilitas bagi Perempuan Karier
Akibatnya, perempuan bekerja tanpa mengejar karier, memaksimalkan potensi, dan lain-lainnya karena yang terpenting baginya adalah masih bisa membantu perekonomian keluarga.
Namun, bisa jadi sulitnya mendapatkan work life balance pada perempuan bekerja cuma dialami pekerja formal dengan waktu kerja yang ditentukan.
Kesulitan menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan barangkali tidak dialami atau dialami lebih sedikit perempuan yang bekerja di sektor informal.
Pasalnya, perempuan yang bekerja di sektor informal, semisal sebagai pelaku usaha kecil dan mikro, bisa mengatur dan mengelola waktunya untuk bekerja dan waktunya untuk keluarga tercinta.
Perempuan bekerja di sektor informal juga dapat menentukan kapan memberi waktu me time dan self care untuk dirinya sendiri.
Beruntunglah perempuan yang bekerja di sektor informal, yang ternyata presentasenya lebih besar berdasarkan studi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Rilis KemenPPPA pada Mei 2024 lalu mencatat, meski jumlah pekerja perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, pekerja perempuan lebih besar kemungkinannya untuk menjadi pekerja informal, sekitar 66 persen atau 54,5 juta pekerja informal di Indonesia adalah perempuan.
Fakta ini terungkap dalam studi KemenPPPA dan Microsave (MSC) Consulting Indonesia yang bertajuk "Meningkatkan Akses Terhadap Pekerjaan Bagi Pekerja Informal Perempuan Dalam Ekonomi Digital".
Studi tersebut dilakukan terhadap 400 pekerja informal perempuan di sembilan provinsi di Indonesia.
Baca Juga: Manfaat Hybrid Working terhadap Pemberdayaan Perempuan, Bukan Sebatas Fleksibilitas
Meski perempuan bekerja di sektor informal lebih mungkin untuk mendapatkan work life balance dibandingkan yang berkarier di sektor formal, persoalan lain boleh jadi akan muncul.
Salah satunya adalah beban mental yang lebih besar karena bekerja di sektor informal sering kali tidak memberikan stabilitas (misalnya dalam hal gaji) dibandingkan dengan di sektor formal.
Work Life Balance bagi Perempuan: Mampu Mengintegrasi Waktu
Amaryllis Esti Wijono, seorang direktur di Unilever Indonesia pernah berbicara tentang caranya mendapatkan work life balance sebagai ibu bekerja saat menjadi bintang tamu Podcast Cerita Parapuan Episode 32.
Menurutnya, keseimbangan antara kehidupan dengan pekerjaan bisa diraih dengan integrasi waktu yang tepat sesuai perannya di rumah dan tempat kerja (kantor).
"Kalau saya, work life balance itu termasuk dari sisi pengaturan waktu. Work life balance bagi saya adalah saya bisa memainkan peran di waktu-waktu yang memang bisa terintegrasi dengan sempurna," ungkap Amaryllis.
"Misalnya gini, pada saat jam bekerja saya lagi sibuk, tentunya saya akan menjadi roles sebagai pemimpin, sebagai pegawai, lebih banyak porsinya dibandingkan porsi saya sebagai ibu/istri," imbuhnya.
"Tapi begitu waktu bekerja saya sudah selesai, saya mendedikasikan waktu saya untuk menjadi porsi, peran sebagai ibu dan sebagai istri," katanya lagi.
Jadi untuk memperoleh work life balance yang bukan sekadar mitos, perempuan perlu memahami dan menggunakan porsi dari masing-masing peran yang dijalankan dengan baik.
Baca Juga: Korsel Uji Coba 4 Hari Kerja dalam Seminggu Demi Work Life Balance, Kenali Cirinya
(*)