Sayangnya, jumlah lembaga penyedia layanan masih terbatas di banyak daerah di Indonesia, khususnya di luar Jawa.
"Jumlah lembaga layanan berbasis masyarakat dan pemerintah belum memadai, bahkan belum ada di semua wilayah," ungkap Novita.
Hal ini semakin diperparah oleh keterbatasan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan dukungan anggaran yang menunjukkan bahwa isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih belum menjadi prioritas.
2. Ketidakselarasan Regulasi di Tingkat Nasional dan Daerah
Regulasi yang belum selaras antara tingkat nasional dan daerah juga menjadi hambatan besar.
"Sebagai salah satu studi teman-teman anggota FPL di Padang, regulasi UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) yang digunakan masih yang lama, padahal sudah ada aturan baru," papar Novita.
Akibatnya, mandatnya menjadi tidak sinkron,” terang Novita. Ketidaksesuaian ini tidak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga menghambat implementasi layanan yang efektif.
3. Perlindungan bagi Pendamping dan Sumber Daya Internal yang Terbatas
Pendamping korban kekerasan juga menghadapi ancaman serius. Ada kasus di mana wajah pendamping disebar di wilayah kekuasaan pelaku, membuat mereka tidak bebas menjalankan tugasnya.
Baca Juga: 10 Agenda Penghapusan Kekerasan yang Diajukan Komnas Perempuan untuk DPR 2024-2029