Parapuan.co - Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah memulai Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP), Senin (25/11/2024).
Kampanye 16 HAKTP ini akan berlangsung hingga 10 Desember 2024, sebagai upaya mengurangi dan menghapuskan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di Indonesia yang masih marak.
Saat meluncurkan Kampanye 16 HAKTP, Komnas Perempuan menggelar webinar bertajuk "Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan".
Webinar tersebut mengundang berbagai pihak, termasuk Forum Pengada Layanan (FLP), sebuah lembaga berbasis masyarakat yang menyediakan layanan untuk perempuan korban maupun penyintas kekerasan.
Melalui Sekretaris Nasional Novitas Sari, FLP menyampaikan berbagai tantangan dan hambatan dalam menyediakan layanan untuk perempuan korban kekerasan berdasarkan pengalamannya dan para anggota lain.
1. Kompleksitas Ragam Layanan dan Aksesibilitas yang Terbatas
Penyediaan layanan bagi korban kekerasan berbasis gender menghadapi tantangan yang signifikan.
Novita Sari menjelaskan bahwa kompleksitas ragam layanan menjadi kendala utama dalam pemenuhan hak korban.
Layanan ini mencakup berbagai kebutuhan mulai dari hukum, medis, hingga psikososial.
Baca Juga: Layanan Pendampingan Bagi Perempuan, Dukung Pemulihan Korban Kekerasan
Sayangnya, jumlah lembaga penyedia layanan masih terbatas di banyak daerah di Indonesia, khususnya di luar Jawa.
"Jumlah lembaga layanan berbasis masyarakat dan pemerintah belum memadai, bahkan belum ada di semua wilayah," ungkap Novita.
Hal ini semakin diperparah oleh keterbatasan sumber daya manusia, sarana prasarana, dan dukungan anggaran yang menunjukkan bahwa isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan masih belum menjadi prioritas.
2. Ketidakselarasan Regulasi di Tingkat Nasional dan Daerah
Regulasi yang belum selaras antara tingkat nasional dan daerah juga menjadi hambatan besar.
"Sebagai salah satu studi teman-teman anggota FPL di Padang, regulasi UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) yang digunakan masih yang lama, padahal sudah ada aturan baru," papar Novita.
Akibatnya, mandatnya menjadi tidak sinkron,” terang Novita. Ketidaksesuaian ini tidak hanya menimbulkan kebingungan, tetapi juga menghambat implementasi layanan yang efektif.
3. Perlindungan bagi Pendamping dan Sumber Daya Internal yang Terbatas
Pendamping korban kekerasan juga menghadapi ancaman serius. Ada kasus di mana wajah pendamping disebar di wilayah kekuasaan pelaku, membuat mereka tidak bebas menjalankan tugasnya.
Baca Juga: 10 Agenda Penghapusan Kekerasan yang Diajukan Komnas Perempuan untuk DPR 2024-2029
"Pernah ada anggota FLP yang fotonya disebarluaskan pelaku. Di situ daerah kekuasaannya, jadi kami pun merasa tidak bebas dan tidak aman," kata Novita.
Di sisi lain, lembaga layanan berbasis masyarakat kerap kali kekurangan sumber daya. Kaderisasi juga menjadi tantangan tersendiri.
"Ada anggota FPL yang hanya memiliki tiga orang di lembaganya, tetapi harus menangani kasus dalam cakupan kabupaten atau provinsi," ujar Novita.
Meski generasi muda banyak terlibat dalam kampanye penghapusan kekerasan, mereka cenderung mundur karena kurangnya dukungan lembaga.
4. Tantangan dalam Penegakan Hukum dan Layanan UPTD PPA
Perspektif aparat penegak hukum (APH) terhadap kekerasan berbasis gender juga masih menjadi kendala di lapangan.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), misalnya, masih jarang diterapkan.
"Sejak 2002 hingga April 2024, kasus yang menggunakan UU TPKS hanya 65," ungkap Novita.
Selain itu, jumlah penyidik perempuan yang menangani kasus ini masih sangat minim.
Baca Juga: UU TPKS dan Berbagai Kebijakan yang Melindungi Perempuan dari Kekerasan
Layanan di UPTD PPA juga menghadapi hambatan serius, mulai dari SDM yang belum memahami isu kekerasan seksual hingga jam layanan yang terbatas.
"Kasus tidak mengenal hari, tapi layanan sering tutup di hari libur," imbuhnya lagi.
Hal ini membuat korban lebih memilih mengandalkan layanan berbasis masyarakat, yang sering kali juga terbatas.
5. Wilayah Kepulauan dan Kesulitan Logistik
Bagi korban yang tinggal di wilayah kepulauan, tantangan logistik dan minimnya sumber daya membuat mereka cenderung tidak melanjutkan proses hukum.
Kondisi ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk meningkatkan aksesibilitas layanan dan mendukung korban dengan solusi yang lebih inklusif.
Pada intinya, membantu korban dan penyintas kekerasan berbasis gender tidak hanya soal penyediaan layanan.
Akan tetapi juga memastikan layanan tersebut mudah diakses, regulasi berjalan selaras, dan sumber daya manusia terlindungi.
Pemerintah, lembaga layanan, dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk mengatasi hambatan-hambatan ini demi memastikan perlindungan bagi korban dan pemberdayaan para pendamping.
Baca Juga: Komnas Perempuan Luncurkan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2024
(*)