Isolasi sosial dan stigma sering menjadi akar kekerasan berbasis gender terhadap penyandang disabilitas.
Pemerintah, pengusaha, dan pemangku kepentingan lainnya, termasuk organisasi penyandang disabilitas harus memastikan bahwa penyandang disabilitas tidak dipisahkan dari masyarakat.
Baik sebagai pelajar, pekerja, atau lansia, perempuan dan anak perempuan difabel harus terintegrasi ke dalam masyarakat tempat mereka tinggal.
4. Kemitraan untuk Inklusi
Perlu adanya kerja sama antara pemerintah, organisasi penyandang disabilitas, dan lembaga swadaya masyarakat.
Hal ini menjadi penting untuk memastikan bahwa layanan yang disediakan relevan dengan kebutuhan perempuan penyandang disabilitas.
5. Program Responsif terhadap Kebutuhan Khusus
Kebijakan dan program harus dirancang untuk menjawab kebutuhan unik perempuan difabel, termasuk dalam mengatasi beban tanggung jawab perawatan yang tidak dibayar.
Baca Juga: Ledia Hanifa Amaliah, Srikandi untuk Negeri yang Perjuangkan Hak Disabilitas dari Kursi Dewan
Undang-undang tentang perawatan dan semua topik lainnya harus ditinjau ulang untuk memastikan bahwa hak-hak penuh penyandang disabilitas diakui.
Undang-undang harus mempertimbangkan pengalaman dan kebutuhan khusus perempuan penyandang disabilitas, dan menangani semua bentuk kekerasan yang mereka hadapi, seperti kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi.
Momentum 30 tahun Deklarasi Beijing menjadi peluang penting untuk memperkuat upaya mengakhiri diskriminasi terhadap perempuan difabel.
Semua pihak, termasuk Kawan Puan, memiliki peran untuk memastikan bahwa mereka hidup bebas dari kekerasan dan diskriminasi.
Kawan Puan yang mengetahui adanya kekerasan di sekitar mereka dapat melaporkannya melalui layanan hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) di nomor 129 atau WhatsApp di 08-111-129-129.
Layanan ini disediakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
(*)
Ken Devina