Parapuan.co - Kekerasan terhadap perempuan masih menjadi isu serius di Indonesia
Melansir dari Komnasperempuan.go.id, berdasarkan data CATAHU 2023, tercatat 289.111 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2023.
Meskipun angka ini menurun 12 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dampak kesehatan mental penyintas, masih membutuhkan perhatian serius.
Pengalaman traumatis yang dialami perempuan penyintas, seperti pelecehan seksual ternyata dapat memicu munculnya androfobia dalam dirinya.
Melansir dari verywellhealth.com, androfobia sendiri merupakan ketakutan berlebihan atau fobia terhadap laki-laki.
Fobia ini dapat dipicu oleh pengalaman traumatis, seperti pelecehan seksual, kekerasan fisik, hingga perundungan.
Fobia tersebut tidak hanya berdampak pada masa kanak-kanak, tetapi juga dapat berkembang atau berlanjut hingga usia dewasa.
Ketakutan ini biasanya tidak rasional dan sering kali memengaruhi kehidupan sehari-hari penyintas.
Baca Juga: Menghapus Kekerasan Seksual dan Pelecehan Perempuan di Tempat Kerja
Gejala Androfobia yang Perlu Diwaspadai
Androfobia ditandai dengan kecemasan berlebih yang muncul saat penyintas berhadapan dengan laki-laki, baik secara langsung maupun hanya melalui pikiran.
Kondisi ini dapat memicu berbagai reaksi fisik dan emosional yang cukup mengganggu, seperti detak jantung yang cepat, pernapasan tidak teratur, dan keringat berlebihan.
Dalam beberapa kasus, penyintas juga bisa mengalami pusing, merasa lemas, atau bahkan serangan panik yang intens.
Tidak hanya itu, perilaku penghindaran juga menjadi ciri khas androfobia.
Penyintas mungkin menghindari lingkungan yang banyak didominasi oleh laki-laki, bahkan hingga menghindari untuk melihat foto atau mendengar percakapan tentang pria.
Hal ini menunjukkan bagaimana androfobia dapat membatasi kehidupan sosial dan memengaruhi aktivitas sehari-hari seseorang.
Cara Mengatasi Androfobia
Ketakutan yang mendalam terhadap laki-laki dapat mengisolasi penyintas dari kehidupan sosial.
Baca Juga: 16 HAKTP: Tantangan Membantu Perempuan Korban dan Penyintas Kekerasan
Mereka sering kali merasa kesepian, tidak berdaya, dan kehilangan rasa percaya diri.
Hal ini juga dapat memengaruhi peluang karier, hubungan personal, serta kualitas hidup para penyintas secara keseluruhan.
Ada berbagai metode perawatan yang dapat membantu penyintas mengurangi keparahan gejala androfobia atau bahkan mengatasinya sepenuhnya.
Meskipun begitu, opsi perawatannya masih terbatas dan harus disesuaikan dengan kebutuhan individu.
Salah satunya adalah terapi perilaku kognitif (CBT) yang berfokus pada mengidentifikasi dan mengubah pola pikir negatif.
Terapi pemaparan juga sering digunakan untuk membantu penyintas menghadapi ketakutannya secara bertahap hingga mereka merasa lebih nyaman.
Kemudian, psikoterapi, baik secara individu maupun kelompok, perawatan ini dirancang untuk membantu korban atau menyintas mengidentifikasi dan mengatasi pikiran serta emosi yang tidak diinginkan.
Dan terakhir, penggunaan obat anti kecemasan, perawatan ini dapat diresepkan jika penyintas dan penyedia layanan kesehatan merasa obat tersebut tepat untuk pengobatanya.
Kawan Puan, mendukung penyintas kekerasan seksual bukan hanya soal memberikan empati, tetapi juga menyediakan ruang aman bagi mereka untuk pulih.
Baca Juga: UU TPKS dan Berbagai Kebijakan yang Melindungi Perempuan dari Kekerasan
Dengan edukasi yang tepat dan dukungan dari masyarakat, penyintas dapat mengatasi trauma mereka dan menjalani hidup dengan lebih baik.
(*)
Ken Devina