Parapuan.co - Kawan Puan, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus menjadi persoalan yang kompleks dan mendesak.
Angka kekerasan terhadap perempuan di Indonesia masih sangat tinggi dengan berbagai tantangan penanganannya.
Hal itu terungkap dalam diskusi publik "Safe Space for All: Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus dan Akses Layanan bagi Korban" yang diinisiasi Komnas Perempuan, Rabu (4/12/2024).
Berdasarkan data yang diungkapkan oleh Komnas Perempuan melalui Komisioner Viryanto Sitohang.
Viryanto mengungkapkan, dalam sepuluh tahun terakhir terdapat lebih dari 2.560.000 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan.
Angka ini belum mencakup kasus yang tidak dilaporkan, yang diyakini jauh lebih banyak.
"Bagaimana komnas perempuan melihat kekerasan terhadap perempuan, bahwa satu korban sesungguhnya lebih dari cukup," papar Viryanto.
"Karena kalau kita lihat, angka penting, tapi di balik angka banyak kisah yang terjadi. Kita perlu memetik pelajaran dari situ," imbuhnya.
Oleh sebab itu, Komnas Perempuan mendorong semua pihak bekerja sama menciptakan ruang aman untuk perempuan.
Baca Juga: Komnas Perempuan: Perempuan di Papua Saat ini Alami Kekerasan Berlapis
Mulai dari masyarakat, lembaga negara atau masyarakat, organisasi nirlaba, kampus dan institusi pendidikan lainnya, penegak hukum, dan lain sebagainya.
Hambatan dalam Menciptakan Ruang Aman
Viryanto Sitohang menambahkan, menciptakan ruang aman bagi perempuan, baik korban kekerasan, penyintas, atau agar tidak menjadi korban, masih menjadi tantangan besar.
Salah satu tantangan utama adalah sulitnya korban kekerasan, terutama dalam kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), untuk berbicara atau melaporkan apa yang mereka alami.
"Yang menjadi pelaku kekerasan itu kan orang paling dekat dengan korban," ungkap Viryanto.
"Misalnya, seorang anak yang mengalami KDRT dari ayahnya mungkin takut akan dampak melaporkan kekerasan terhadap masa depan pendidikan atau kehidupannya," ujarnya lagi.
Ketakutan itulah yang membuat korban KDRT sulit melapor dan mencari keadilan untuk dirinya sendiri.
Selain itu, korban sering membutuhkan waktu untuk memulihkan diri dari trauma sebelum mereka merasa siap untuk speak up.
Ini juga terjadi di lingkungan seperti kampus, di mana kasus kekerasan seksual sering kali baru terungkap bertahun-tahun setelah kejadian.
Baca Juga: Perjuangan Mellisa Anggiarti Hadirkan Ruang Aman bagi Pilot Perempuan
Komnas Perempuan menyoroti bahwa ruang aman untuk korban kekerasan masih sangat terbatas di Indonesia, meskipun berbagai peraturan telah diterbitkan.
Tantangan semakin besar ketika membahas ruang aman yang inklusif, terutama bagi korban dengan disabilitas atau disabilitas ganda.
Banyak pendamping korban yang belum memiliki kapasitas untuk memahami kebutuhan khusus ini.
"Ruang aman untuk korban kekerasan masih sulit di Indonesia walaupun sudah ada banyak aturan, apa lagi menciptakan ruang aman yang inklusi," kata Viryanto.
"Misalnya, enggak semua pendamping korban bisa memahami korban dengan disabilitas, apa lagi disabilitas ganda," imbuhnya lagi.
Penegakan Hukum yang Belum Optimal
Penegakan hukum juga menjadi kendala signifikan dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan.
Salah satu contohnya adalah femisida, yaitu pembunuhan terhadap perempuan yang sering kali tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan berbasis gender.
"Polisi sering kali menganggap pembunuhan terhadap perempuan adalah tindakan kriminal biasa," tutur Viryanto Sitohang.
Baca Juga: Hukum di Mata Perempuan: Perspektif Karakter Kang Bit Na di Drakor The Judge From Hell
Padahal, banyak kasus femisida didasari oleh kebencian terhadap perempuan, misogini, atau pandangan bahwa perempuan hanyalah objek seksual.
Perspektif ini tidak hanya menghambat keadilan bagi korban, tetapi juga memperburuk trauma pada keluarga korban.
Kekerasan di Kampus dan Spektrum yang Terus Berkembang
Kekerasan terhadap perempuan bahkan terjadi pula di lingkungan pendidikan, seperti kampus.
"Safe space tidak cukup hanya di kampus, tetapi harus di semua tempat dan bisa dimulai dari kampus," terang Viryanto.
Hal ini menjadi tantangan besar karena spektrum kekerasan terhadap perempuan terus berkembang seiring dengan perubahan zaman dan teknologi.
Komnas Perempuan menekankan bahwa menciptakan ruang aman bagi perempuan tidak bisa hanya bergantung pada negara.
Banyak korban membutuhkan penanganan cepat, sementara layanan pemerintah sering kali hanya tersedia dalam jam kerja.
Untuk menciptakan ruang aman yang inklusif dan responsif, beberapa langkah yang perlu diambil adalah:
Baca Juga: Hambatan dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
1. Edukasi dan Pelatihan
Pendamping korban harus mendapatkan pelatihan mendalam, terutama untuk menangani korban dengan kebutuhan khusus seperti disabilitas.
2. Layanan 24 Jam
Dibutuhkan layanan darurat yang tersedia selama 24 jam, baik melalui hotline maupun pusat krisis, untuk menangani kasus kekerasan secara cepat.
3. Penguatan Perspektif Gender dalam Penegakan Hukum
Aparat penegak hukum harus memahami bahwa kekerasan terhadap perempuan, termasuk femisida, memiliki dimensi gender yang kompleks dan tidak bisa diperlakukan sebagai kejahatan biasa.
4. Peningkatan Kesadaran Masyarakat
Masyarakat perlu dididik untuk memahami pentingnya mendukung korban agar berani melapor dan mengatasi stigma yang sering kali melekat pada korban.
5. Kerja Sama Multisektor
Pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan sektor swasta harus berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem yang aman bagi perempuan di berbagai lingkungan, termasuk rumah, tempat kerja, dan institusi pendidikan.
Baca Juga: Mengungkap Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Menurut Survei
(*)