Parapuan.co - Kawan Puan, obsesi terhadap kecantikan telah menjadi fenomena global yang sulit dihindari.
Standar kecantikan modern yang terus berkembang sering kali menuntut perempuan untuk tampil sempurna sesuai dengan citra ideal yang dibentuk oleh media dan masyarakat.
Tubuh ramping dengan lekuk sempurna, kulit bercahaya tanpa cela, hingga wajah yang seragam karena prosedur kosmetik kini menjadi gambaran kecantikan yang dianggap wajib dimiliki.
Sayangnya, tuntutan ini membuat banyak perempuan merasa tidak cukup baik dengan penampilan alaminya.
Dorongan untuk memenuhi ekspektasi tersebut kerap membuat mereka rela mengorbankan waktu, uang, dan bahkan kesehatan demi mengejar definisi kecantikan yang tidak realistis.
Media sosial, khususnya Instagram dan TikTok, turut memperparah tekanan ini.
Beragam unggahan selebritas dan influencer yang memperlihatkan tubuh dan wajah sempurna hasil diet ketat atau perawatan kosmetik kerap menciptakan ilusi bahwa kecantikan adalah sebuah keharusan.
Melansir dari independent.co.uk, tren seperti penggunaan filler, Botox, hingga operasi plastik semakin populer dalam beberapa tahun terakhir.
Akibatnya, banyak orang yang menjalani prosedur serupa mulai terlihat sangat mirip satu sama lain.
Baca Juga: Sebelum Terjun ke Bisnis Kecantikan, Pahami Peluang dan Tantangan bagi Brand Lokal
Melansir dari Tribunnews.com, salah satu contoh nyata dampak buruk dari obsesi terhadap standar kecantikan yang tidak realistis adalah kisah tragis Yulia Tarasevich, seorang ratu kecantikan asal Rusia.
Meski sudah dikenal dengan wajahnya yang memukau, Yulia merasa penampilannya masih belum sempurna.
Ia pun memutuskan untuk menjalani operasi plastik di sebuah klinik kecantikan di Krasnodar, Rusia, pada Desember 2020.
Tujuannya sederhana, yaitu hanya ingin meningkatkan penampilannya agar terlihat lebih menawan.
Namun, yang terjadi justru jauh dari harapannya, wajah Yulia mengalami pembengkakan parah, peradangan, dan cekungan di bagian mata.
Bahkan, ia kehilangan kemampuan untuk menutup mata dan kesulitan tersenyum.
Alih-alih memperbaiki penampilannya, prosedur tersebut justru merusak wajah Yulia secara permanen akibat dugaan malpraktik.
Tidak berhenti di situ, Yulia berusaha mencari klinik lain untuk memperbaiki kerusakan tersebut.
Baca Juga: Perempuan Harus Tahu: Perawatan Kecantikan yang Cocok untuk Iklim Tropis
Namun, perjuangan ini memakan biaya yang sangat besar, ia menghabiskan total hingga Rp460 juta, tetapi hasil yang diharapkan tetap tidak tercapai dan tak bisa kembali seperti semula.
Perjalanan ini menjadi pengingat akan risiko besar yang mengintai di balik upaya mengejar kecantikan instan melalui prosedur kosmetik yang tidak aman.
Fenomena seperti ini bukanlah kasus tunggal. Banyak perempuan yang merasa tertekan oleh standar kecantikan yang tidak realistis memilih langkah-langkah ekstrem.
Termasuk menjalani prosedur kosmetik di klinik yang tidak terverifikasi.
Dari suntikan filler ilegal hingga operasi di tangan dokter tanpa lisensi, banyak yang akhirnya menghadapi komplikasi medis serius, bahkan kehilangan nyawa.
Kawan Puan, kisah Yulia dan kasus serupa lainnya menyoroti pentingnya memahami risiko di balik obsesi terhadap kecantikan.
Tren ini tidak hanya berdampak pada fisik, tetapi juga pada kesehatan mental kita.
Perempuan kerap merasa tidak cukup baik atau harus memenuhi ekspektasi sosial tentang kecantikan, yang justru dapat menghancurkan rasa percaya diri mereka.
Padahal, kecantikan sejati tidak memerlukan pengorbanan sebesar itu.
Baca Juga: Hal Penting yang Harus Diperhatikan Sebelum Memilih Klinik Kecantikan
Kecantikan yang hakiki adalah bagaimana kita mencintai diri sendiri, menerima keunikan yang dimiliki, dan merawat tubuh dengan cara yang aman.
Kawan Puan, sejatinya kecantikan adalah tentang bagaimana kita merasa nyaman menjadi diri sendiri, apa adanya.
(*)
Ken Devina