Penanganan kasus ini memerlukan penerapan landasan hukum yang inklusif, yang tidak hanya mengedepankan hukuman tetapi juga mempertimbangkan rehabilitasi bagi pelaku.
Melansir dari setkab.go.id, salah satu dasar hukum yang relevan adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.
UU ini menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan dari kekerasan seksual tanpa memandang latar belakang korban maupun pelaku.
Pasal 3 huruf d dan e mengamanatkan bahwa penegakan hukum harus disertai rehabilitasi bagi korban dan pelaku, untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual dan mencegah terulangnya kasus serupa.
Selain itu, Pasal 32 UU TPKS mengatur hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual yang disesuaikan dengan tingkat kesalahan serta kondisi pelaku.
Dalam konteks disabilitas, seperti yang tercantum di laman bappenas.go.id, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjadi pedoman penting tentang Penyandang Disabilitas.
UU ini memastikan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan yang adil dalam proses hukum.
Dan mengatur pentingnya pendampingan ahli disabilitas dalam setiap tahapan proses hukum, guna memastikan kondisi pelaku dipertimbangkan secara menyeluruh.
Baca Juga: Perlunya Kolaborasi untuk Inklusivitas yang Responsif Gender dan Ramah Anak