Kasus Agus Buntung Buktikan Kekerasan Seksual Bisa Dilakukan Siapa Saja

Tim Parapuan - Senin, 9 Desember 2024
Kasus kekerasan seksual dilakukan oleh Agus Buntung.
Kasus kekerasan seksual dilakukan oleh Agus Buntung. (Tribunnews)

Parapuan.co - Kawan Puan, kasus kekerasan seksual yang melibatkan I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung (21), seorang pemuda disabilitas asal Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), menyita perhatian publik.

Agus diduga melakukan pelecehan seksual terhadap lima perempuan di lokasi yang sama, sebuah homestay di NTB.

Namun, data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan dalam jumlah korban. 

Melansir dari Tribunnews.com, Ketua Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Nusa Tenggara Barat (NTB), Joko Jumadi, mengungkapkan bahwa total korban saat ini telah mencapai 15 orang, setelah sebelumnya dilaporkan sebanyak 13 orang.

Dari jumlah tersebut, tujuh korban telah menjalani pemeriksaan oleh pihak kepolisian.

Lebih memprihatinkan lagi, tiga dari korban tersebut merupakan anak di bawah umur.

Pendekatan Hukum dalam Kasus Pelecehan Seksual oleh Pelaku dengan Disabilitas 

Kasus pelecehan seksual yang melibatkan pelaku dengan disabilitas, seperti yang terjadi pada Agus Buntung, menuntut perhatian khusus dalam penegakan hukum.

Pendekatan hukum harus memastikan keadilan bagi korban tanpa mengabaikan kondisi khusus pelaku.

Baca Juga: Pentingnya Pemenuhan Hak Anak Disabilitas di Indonesia, Ini Kata Wamen PPPA

Penanganan kasus ini memerlukan penerapan landasan hukum yang inklusif, yang tidak hanya mengedepankan hukuman tetapi juga mempertimbangkan rehabilitasi bagi pelaku.

Melansir dari setkab.go.id, salah satu dasar hukum yang relevan adalah Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022.

UU ini menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan dari kekerasan seksual tanpa memandang latar belakang korban maupun pelaku.

Pasal 3 huruf d dan e mengamanatkan bahwa penegakan hukum harus disertai rehabilitasi bagi korban dan pelaku, untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual dan mencegah terulangnya kasus serupa.

Selain itu, Pasal 32 UU TPKS mengatur hukuman pidana bagi pelaku kekerasan seksual yang disesuaikan dengan tingkat kesalahan serta kondisi pelaku.

Dalam konteks disabilitas, seperti yang tercantum di laman bappenas.go.id, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 menjadi pedoman penting tentang Penyandang Disabilitas.

UU ini memastikan bahwa penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan yang adil dalam proses hukum.

Dan mengatur pentingnya pendampingan ahli disabilitas dalam setiap tahapan proses hukum, guna memastikan kondisi pelaku dipertimbangkan secara menyeluruh.

Baca Juga: Perlunya Kolaborasi untuk Inklusivitas yang Responsif Gender dan Ramah Anak

Proses peradilan harus menggunakan pendekatan inklusif untuk memastikan keadilan bagi semua pihak tanpa mengabaikan tanggung jawab hukum pelaku.

Melansir dari dpr.go.id, anggota Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, juga menyoroti pentingnya pendekatan inklusif dalam kasus ini.

Ia menekankan bahwa aparat penegak hukum harus bekerja sama dengan ahli disabilitas dan organisasi masyarakat sipil guna memastikan semua aspek terkait kondisi pelaku, termasuk hak-haknya, diperhitungkan dalam proses hukum.

Selly juga menegaskan bahwa rehabilitasi merupakan bagian integral dari penegakan hukum, baik bagi korban maupun pelaku.

Hal ini menjadi langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual serta mencegah terulangnya kasus serupa.

“Pendekatan hukum harus dilakukan secara transparan dan komprehensif sehingga keadilan dapat dirasakan oleh semua pihak, hak-hak korban dan tersangka harus sama-sama terlindungi," ujar Selly dalam keterangan tertulisnya.

Proses hukum yang inklusif juga menjadi kunci untuk memastikan tidak ada pelanggaran terhadap hak-hak penyandang disabilitas,” ucapnya.

Kekerasan Seksual Bisa Dilakukan Siapa Saja

Kawan Puan, kasus ini memberikan gambaran yang sangat penting mengenai kenyataan bahwa kekerasan seksual bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa melihat latar belakang pelakunya.

Baca Juga: Panduan Memilih Sepatu untuk Perempuan dengan Disabilitas dan Kebutuhan Khusus

Sering kali, kita terjebak pada anggapan bahwa pelaku kekerasan seksual hanya berasal dari kelompok atau individu tertentu.

Namun, kenyataannya, kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja, tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau kondisi fisik.

Kasus yang melibatkan seorang penyandang disabilitas ini menjadi bukti nyata bahwa pelaku kekerasan seksual tidak mengenal batas.

Sehingga penting bagi kita untuk harus lebih berhati-hati dan sadar akan potensi kekerasan terhadap perempuan yang bisa datang dari siapa saja, termasuk individu yang mungkin tidak kita duga sebelumnya.

Karena itu, penting bagi setiap perempuan, untuk selalu menjaga diri dan tidak lengah terhadap ancaman kekerasan.

Di sisi lain, masyarakat dan pemerintah juga memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi para korban kekerasan terhadap perempuan.

Dengan adanya kesadaran bersama dan dukungan yang lebih kuat, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih aman bagi semua orang, terlepas dari siapa pelakunya.

Penegakan hukum harus dijalankan dengan prinsip keadilan yang komprehensif, menjamin hak-hak korban terlindungi, serta memberikan rehabilitasi kepada pelaku sesuai dengan kondisi mereka.

Hal ini penting untuk memastikan bahwa penanganan kekerasan seksual dapat menciptakan efek jera sekaligus mencegah kasus serupa terjadi di masa depan.

Baca Juga: Ketimpangan Perlindungan Sosial, Perempuan dan AnakTerpinggirkan

(*)

Ken Devina

Sumber: tribunnew.com,Dpr.go.id,setkab.go.id,Bappenas.go.id
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri


REKOMENDASI HARI INI

Bukan Ancaman Baru, Dokter Ungkap Fakta dan Cara Mencegah Infeksi HMPV