Saat Pernikahan Pesanan Merenggut Hak Perempuan untuk Memilih

Tim Parapuan - Selasa, 10 Desember 2024
Pernikahan pesanan adalah bagian dari perdagangan manusia.
Pernikahan pesanan adalah bagian dari perdagangan manusia. (Vaselena/iStockphoto)

Fenomena ini muncul akibat adanya sistem patriarkal dan kapitalisme, yang menempatkan perempuan dalam posisi subordinat, mendorong diskriminasi sosial dan ekonomi terhadap mereka.

Perempuan yang terlibat dalam pernikahan pesanan kehilangan kebebasan untuk memilih pasangan hidup dan sering kali terjebak dalam hubungan yang tidak membawa kebahagiaan.

Banyak dari mereka juga berisiko mengalami kekerasan fisik dan emosional.

Sebagian besar perempuan ini menikah bukan karena pilihan, melainkan akibat tekanan ekonomi atau impian mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri.

Namun, kenyataan yang mereka hadapi justru bertolak belakang dengan harapan mereka.

Pada situs-situs pengantin pesanan, perempuan sering kali digambarkan mengenakan pakaian terbuka yang menonjolkan bentuk tubuh mereka, hanya dilihat dari perspektif seksual.

Mereka tidak dianggap sebagai individu utuh dengan berbagai keinginan dan kemampuan, melainkan dipandang sebagai objek seksual yang dinilai berdasarkan penampilan fisik dan kemampuan mereka menampilkan atribut seksual.

Banyak perempuan yang berharap membangun keluarga yang bahagia, namun kenyataannya mereka terperangkap dalam hubungan abusif, di mana mereka tidak hanya menghadapi kekerasan, tetapi juga kesulitan mengakses hak-hak mereka.

Pada beberapa situs pengantin pesanan, perempuan yang ditampilkan berusia di bawah 20 tahun dan belum menikah, sementara perempuan di laman standar berusia di atas 20 tahun dan beberapa sudah pernah menikah.

Baca Juga: Apa Itu Open Marriage, Konsep Hubungan Pernikahan yang Lebih Bebas?

Perempuan yang tampil di laman utama biasanya mengenakan pakaian mewah dan perhiasan, sementara yang ada di laman lain tampak lebih sederhana.

Ketergantungan ekonomi yang dialami perempuan setelah menikah membuat mereka terperangkap dalam sistem ini, di mana mereka bergantung pada makelar atau suami yang telah membayar mereka.

Hal ini mempersulit mereka untuk melepaskan diri dari kondisi tersebut.

Fenomena ini menggarisbawahi pentingnya peran pemerintah dan lembaga terkait untuk mengawasi serta memberikan perlindungan terhadap perempuan yang terlibat dalam pernikahan pesanan.

Penyuluhan dan edukasi tentang bahaya praktik ini juga harus lebih intensif dilakukan. 

Pemerintah, khususnya melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), perlu terus berupaya mencegah berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan terhadap perempuan, baik di dalam negeri maupun luar negeri.

Perempuan yang menjadi korban praktik pernikahan pesanan dianjurkan untuk segera melapor kepada pihak berwenang jika mengalami kekerasan.

Selain itu, pendampingan hukum dan psikologis sangat penting agar mereka bisa keluar dari situasi tersebut dan memulai hidup baru yang lebih aman dan layak.

Kolaborasi antara berbagai pihak diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif bagi perempuan Indonesia dari ancaman eksploitasi dan kekerasan, sekaligus membuka peluang bagi mereka untuk hidup dengan kebebasan dan pilihan yang lebih baik.

Baca Juga: Wamen PPPA Veronica Tan Ingatkan Pernikahan Dini Bisa Sebabkan Gangguan Kesehatan Mental

(*)

Ken Devina

Sumber: Kompas.com,jurnal Paradigma
Penulis:
Editor: Citra Narada Putri


REKOMENDASI HARI INI

Maskulinitas: Penghambat atau Pendorong Pemberdayaan Perempuan?