Parapuan.co - Kawan Puan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat adanya peningkatan permohonan perlindungan dari korban tindak kekerasan seksual di tahun 2024.
Mengutip Kompas.com, permohonan perlindungan terkait kasus kekerasan seksual yang diajukan ke LPSK meningkat hampir dua kali lipat tahun ini.
Hal itu disampaikan oleh Sri Nurherwati, Wakil Ketua LPSK di Jakarta pada Rabu (11/12/2024) kemarin.
"Permohonan perlindungan korban kekerasan seksual meningkat signifikan dari 672 permohonan pada 2022 menjadi 1.063 pada 2024," kata Sri Nurherwati.
Fakta yang diungkap Sri Nurherwati tentu menunjukkan bahwa angka kekerasan seksual di Indonesia masih cukup tinggi.
Mirisnya lagi, permohonan perlindungan terkait tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak juga naik hingga empat kali lipat dibandingkan pada orang dewasa.
"Selama kurun waktu tiga tahun, 81 persen dari jumlah keseluruhan permohonan terkait kekerasan seksual diajukan untuk korban anak-anak," papar Nurherwati.
Dari banyaknya korban kasus kekerasan seksual yang melapor dan meminta perlindungan, salah satunya adalah diduga korban I Wayan Agus atau Agus 'Buntung'.
Kasus Agus Buntung viral di media sosial, lantaran terlapor ialah penyandang disabilitas tunadaksa, di mana ia tidak mempunyai kedua lengan.
Baca Juga: Komnas Perempuan Merespons Kasus Kekerasan Seksual dengan Pelaku Penyandang Disabilitas
LPSK: Siapapun Bisa Jadi Pelaku Kekerasan Seksual
Terkait kasus Agus, LPSK merilis siaran pers melalui laman media sosial Instagram.
LPSK menyatakan bahwa siapa saja bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, tak terkecuali penyandang disabilitas.
Oleh sebab itu, LPSK menegaskan pentingnya menjunjung tinggi prinsip keadilan bagi korban dan pelaku, dengan tetap menghormati proses hukum yang sedang terjadi.
Sri Nurherwati menekankan, masyarakat harus menghormati proses hukum tanpa memberikan stigma atau asumi yang bisa merugikan para pihak.
Ia menambahkan, kekerasan seksual adalah kejahatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, termasuk penyandang disabilitas.
Maka itu, pendekatan yang professional dan adil sangat penting untuk mengungkap kebenaran.
"Kita harus mendukung korban dalam pengungkapan kebenaran, dan memberikan ruang bagi pengalaman mereka untuk menjadi sumber fakta utama dalam perkara ini," terang Sri Nurherwati dikutip PARAPUAN.
"Sangat penting bagi aparat penegak hukum untuk memahami bagaimana pelaku dengan kondisi disabilitas dapat melakukan tindak pidana, sebagaimana dilaporkan korban," imbuhnya.
Baca Juga: UU TPKS dan Berbagai Kebijakan yang Melindungi Perempuan dari Kekerasan
Selain itu, LPSK juga menyoroti pentingnya penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang bertujuan memulihkan hak-hak korban dan memberikan perlindungan dari risiko viktimisasi.
Dalam penanganan pelaku yang merupakan penyandang disabilitas, LPSK mendorong penerapan UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
UU tersebut mengamanatkan pemberian akomodasi yang layak sesuai dengan ragam disabilitas pelaku.
"Dengan memahami kebiasaan pelaku dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan kebenaran materiil perkara ini dapat diungkap secara utuh," kata Sri Nurherwati.
"Keadilan adalah hak bagi semua pihak. Dalam konteks ini, masyarakat memiliki tanggung jawab mendukung proses hukum yang inklusif dan adil, tanpa prasangka yang merugikan korban maupun pelaku. Pendekatan yang berimbang adalah kunci mengungkap kebenaran," tambahnya.
Data LPSK mencatat korban Agus berinisial MA mengajukan permohonan perlindungan pada 2 Desember 2024.
Dalam permohonannya, korban meminta bantuan ahli, dan mengajukan restitusi atau ganti rugi kepada pelaku atas kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukannya.
Saat ini, Agus sendiri sudah ditetapkan ebagai tersangka dan menjalani tahanan rumah lantaran kondisinya yang disabilitas.
Agus menghadapi ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara sesuai pada Pasal 6 huruf (c) UU TPKS.
Baca Juga: Kasus Agus Buntung Buktikan Kekerasan Seksual Bisa Dilakukan Siapa Saja
(*)