Parapuan.co - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah isu serius yang melibatkan pelanggaran hak asasi manusia dan berdampak besar terhadap korban.
Namun, di banyak masyarakat, termasuk di Indonesia, KDRT sering kali dianggap sebagai urusan privat "rumah tangga" yang tidak boleh dicampuri pihak luar.
Padahal dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), isu kekerasan dalam rumah tangga menjadi urusan publik, bukan lagi privat.
Oleh karenanya perempuan harus melawan, terlebih jika menyaksikan sendiri (sebagai saksi) atau menjadi korban.
Budaya Patriarki dan Privatisasi Keluarga
Salah satu faktor utama mengapa KDRT masih dianggap urusan privat adalah budaya patriarki yang masih kuat di masyarakat.
Dalam struktur patriarki, rumah tangga sering dianggap sebagai wilayah yang sakral, di mana kepala keluarga memiliki kendali penuh atas anggota keluarga.
Pandangan ini membuat konflik atau kekerasan dalam rumah tangga dianggap sebagai urusan internal yang tidak perlu diketahui orang lain.
Norma-norma sosial yang mengutamakan "kehormatan keluarga" juga memperkuat gagasan bahwa membicarakan KDRT di ranah publik adalah tabu.
Baca Juga: Perulangan Kasus KDRT Menjadi Sinyal bagi Perempuan
Korban sering kali ditekan untuk diam agar tidak mempermalukan keluarga mereka.
Kurangnya Pemahaman tentang KDRT
Banyak orang yang belum memahami bahwa KDRT melibatkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.
KDRT tidak hanya mencakup kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan emosional, ekonomi, dan seksual.
Sayangnya, bentuk-bentuk kekerasan ini sering kali diabaikan atau dianggap sebagai bagian dari dinamika keluarga yang normal.
Misalnya, kekerasan emosional seperti penghinaan atau ancaman sering kali dianggap sebagai "masalah kecil" yang tidak layak dilaporkan.
Hal ini membuat banyak korban ragu untuk mencari bantuan atau melapor ke pihak berwenang.
Stigma terhadap Korban
Korban KDRT kerap menghadapi stigma sosial yang berat. Mereka mungkin dicap sebagai lemah, tidak setia, atau bahkan dianggap bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka alami.
Baca Juga: Selain Kekerasan Fisik, Ini Jenis KDRT yang Jarang Disadari Perempuan
Stigma ini membuat korban takut untuk berbicara atau melapor, sehingga KDRT tetap tersembunyi di balik pintu rumah.
Selain itu, korban sering kali mengalami tekanan dari keluarga atau komunitas untuk mempertahankan rumah tangga mereka, terlepas dari tingkat kekerasan yang dialami.
Hal ini didorong oleh keyakinan bahwa perceraian atau perpisahan adalah aib yang harus dihindari.
Bagaimana Perempuan Melawan KDRT?
Bila kamu adalah korban, berceritalah kepada orang lain yang paling kamu percaya tentang apa yang terjadi.
Dan bagi Kawan Puan yang mendengar cerita atau menjadi saksi, segeralah melapor dan mencari pendampingan untuk korban.
Seandainya kamu takut atau tidak berani lapor polisi, minimal laporkan ke tingkat RT melalui kelompok PKK.
Kamu juga bisa melapor melalui situs lapor.go.id atau SAPA dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di hotline 129 atau WhatsApp 08111-129-129.
Bersamaan dengan itu, kamu juga bisa mengajukan permohonan perlindungan saksi dan korban ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) melalui telepon 021-29681560 dan email lpsk_ri@lpsk.go.id.
Jika di daerah tempat tinggalmu dekat dengan komunitas atau lembaga masyarakat yang menangani permasalahan terkait kekerasan terhadap perempuan, melaporlah ke sana.
Ingat, satu langkah kecil yang kamu lakukan adalah bentuk perlawanan untuk menghapuskan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Baca Juga: Korban KDRT Tidak Bisa Meninggalkan Pelaku? Bisa Jadi Alami Stockholm Syndrome
(*)