Parapuan.co - Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi salah satu tantangan berat bagi para pelaku bisnis kecil.
Meskipun pajak ini dirancang untuk memberikan kontribusi signifikan pada pendapatan negara, kenyataannya, banyak usaha kecil kesulitan memenuhi kewajiban PPN karena berbagai hal.
Antara lain lantaran keterbatasan pemahaman, infrastruktur, dan tekanan persaingan.
Penelitian menunjukkan bahwa PPN merupakan jenis pajak yang paling sulit dikelola oleh usaha kecil dibandingkan pajak penghasilan atau jenis pajak lainnya (Evans et al., 2014; Naicker & Rajaram, 2019; Smulders, 2013).
Lantas, seperti apa tantangan bisnis kecil di tengah kenaikan PPN yang akan mulai berlaku 1 Januari 2025?
Jawabannya bisa Kawan Puan temukan dalam informasi yang dirangkum dari Jurnal Economic and Management Sciences South Africa berjudul "Understanding the challenges encountered by small business owners regarding value-added tax compliance" (2024) yang ditulis oleh Mphagahlele O. Ndlovu, Daniel P. Schutte berikut ini!
1. Kesulitan dalam Konsep Agency untuk Tujuan PPN
Salah satu tantangan utama adalah kurangnya pemahaman pemilik usaha kecil (UMKM) mengenai konsep agency dalam PPN.
Prinsip ini menyatakan bahwa PPN yang ditagihkan dari pelanggan bukanlah milik bisnis, melainkan milik negara.
Baca Juga: Risiko yang Akan Terjadi Jika Daya Beli Masyarakat Turun Pasca Berlakunya PPN 12 Persen
Namun, realitanya, banyak UMKM memandang uang PPN yang masuk ke rekening bisnis sebagai milik mereka sendiri.
Hal ini diperparah oleh kebutuhan operasional yang memaksa mereka menggunakan dana tersebut untuk membayar gaji atau pengeluaran lain.
Seorang praktisi pajak dalam jurnal ini menjelaskan, "Ketika uang PPN masuk ke rekening, mereka lupa bahwa 15 persen itu bukan milik mereka. Mereka melihatnya sebagai bagian dari total pendapatan mereka."
Untuk mengatasi masalah ini, beberapa praktisi pajak menyarankan agar UMKM membuka rekening terpisah untuk menyimpan dana PPN.
Seperti yang disampaikan oleh salah satu praktisi pajak lain, "Buka rekening PPN, dan taruh uang PPN di sana. Dengan begitu, saat waktunya bayar pajak, uangnya sudah siap."
Selain itu, banyak UMKM menghadapi tekanan persaingan sehingga sulit menaikkan harga sebesar 15 persen (dalam hal ini di Indonesia mengalami kenaikan pajak 12 persen) untuk menutupi PPN.
Dalam banyak kasus, mereka memilih menyerap beban PPN sendiri untuk mempertahankan pelanggan.
"Khususnya dalam industri jasa, jika mereka menaikkan harga sebesar kenaikan pajak, mereka khawatir kehilangan pelanggan," ujar praktisi pajak yang tidak disebut namanya dalam jurnal.
2. Beban Pelaporan PPN Berdasarkan Basis Faktur
Baca Juga: Pelaku Usaha Perlu Naikkan Harga Dampak PPN 12 Persen, Lakukan Ini pada Konsumen
Sesuai peraturan, PPN harus dilaporkan berdasarkan basis faktur. Artinya, UMKM harus membayar PPN meskipun pelanggan mereka belum melunasi pembayaran.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi bisnis kecil, terutama yang sering memberikan kredit kepada pelanggan.
Keterlambatan pembayaran dari pelanggan memaksa beberapa UMKM mencari cara kreatif untuk menghindari kewajiban pajak, seperti menyembunyikan faktur yang belum terbayar dari otoritas pajak.
Hal ini tidak hanya merusak moralitas pajak tetapi juga menempatkan UMKM dalam posisi sulit dengan otoritas pajak.
3. Ketidaksiapan Bisnis Kecil Menghadapi Beban Kepatuhan PPN
Bisnis kecil yang baru mencapai ambang wajib registrasi PPN sering kali belum siap menghadapi beban administratifnya.
Mereka memerlukan infrastruktur seperti perangkat lunak akuntansi dan tenaga ahli pajak, yang biayanya tidak murah.
Selain itu, tekanan administrasi tambahan sering kali menyebabkan bisnis kecil menghadapi penalti akibat ketidakpatuhan, meskipun ini bukan sepenuhnya kesalahan mereka.
Seorang praktisi menambahkan, "Bisnis kecil harus mengelola pajak karyawan, PPN, dan lain-lain. Beban administratif ini terlalu besar untuk usaha kecil."
Baca Juga: Daftar Makanan Mewah yang Kena PPN 12 Persen per 1 Januari 2025
4. Dampak pada Arus Kas dan Keberlanjutan Bisnis
Tantangan lainnya berkaitan dengan PPN yang sering kali dikaitkan dengan arus kas keluar yang konstan.
Hal ini menjadi masalah serius bagi bisnis kecil di sektor jasa, yang umumnya tidak memiliki pajak masukan yang cukup untuk mengimbangi pajak keluaran.
Akibatnya, UMKM harus membayar PPN dari dana pribadi mereka sendiri.
Salah satu praktisi pajak dalam jurnal ini mencatat, "Kami memiliki klien yang pelanggannya menolak membayar PPN. Karena untuk bertahan hidup, mereka terpaksa menerima pembayaran tanpa PPN."
Dalam hal kenaikan PPN, ada beberapa hal yang bisa dilakukan pemerintah untuk membantu pelaku UMKM mengatasi tantangan.
Salah satunya dengan meningkatkan ambang registrasi PPN untuk memberikan ruang bagi bisnis kecil untuk tumbuh sebelum menghadapi beban kenaikan pajak ini.
Hal lain yang bisa dilakukan ialah melalui pelatihan dan penyuluhan, untuk meningkatkan pemahaman SBO tentang pengelolaan PPN, termasuk pentingnya memisahkan dana PPN dari operasional bisnis.
Baca Juga: Sejauh Mana PPN 12 Persen Memberi Dampak Finansial pada Perempuan?
(*)