Parapuan.co - Kawan Puan, kasus memilukan yang melibatkan seorang ibu dan anak sebagai korban pemerkosaan di Surakarta pada tahun 2017 kembali menjadi sorotan publik.
Perjuangan sang suami, YS, untuk mencari keadilan berubah menjadi mimpi buruk setelah ia justru ditahan oleh pihak kepolisian dengan tuduhan yang tidak jelas.
Kasus ini memicu diskusi lebih luas tentang perlindungan hukum bagi korban dan fenomena salah tangkap oleh aparat penegak hukum di Indonesia.
Kronologi Kasus yang Menggemparkan
Melansir dari Kompas.com, tragedi ini bermula pada tahun 2017 ketika ADW, istri YS, menjadi korban pemerkosaan oleh seorang mahasiswa yang tinggal di rumah kontrakan mereka.
Tidak hanya itu, putri mereka, KDY, yang saat itu berusia empat tahun, juga mengalami pelecehan seksual oleh pelaku yang sama.
YS segera melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian, namun laporan awalnya ditolak.
Baru pada tahun 2018, hasil visum yang dikeluarkan pihak medis menguatkan dugaan kekerasan seksual terhadap ADW dan KDY.
Anehnya, pihak kepolisian malah mengeluarkan surat yang menyatakan tidak ditemukan tindak pidana dalam kasus ini.
Baca Juga: Kelanjutan Kasus Pemerkosaan Lansia di Prancis, Mantan Suami Gisele Pelicot Dipenjara 20 Tahun
Kuasa hukum YS, Unggul Sitorus, menjelaskan bahwa meskipun ada bukti kuat, laporan tersebut tidak ditindaklanjuti secara maksimal.
“Hasil visum jelas menunjukkan adanya kekerasan seksual, namun laporan klien kami seperti diabaikan,” ujarnya.
Perjuangan YS tidak berhenti di situ saja. Pada tahun 2019, ia mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Inspektur Pengawasan Daerah (Irwasda) Polda Jawa Tengah.
Namun, bukannya mendapatkan perlindungan, YS justru ditangkap dan ditahan pada tahun 2024.
Dalam rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI, YS menceritakan pengalaman tragisnya.
“Saya ditahan selama tiga hari bersama anak saya. Kami tidak diberi makan,” ujarnya sambil menangis.
Kasus Salah Tangkap dan Catatan Kelam Aparat
Kasus YS ini menambah daftar panjang fenomena salah tangkap di Indonesia.
Baca Juga: Darurat Kekerasan Seksual, Perempuan dan Anak Jadi Korban Utama
Menurut data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) merilis, ada 15 peristiwa salah tangkap yang dilakukan kepolisian selama satu tahun terakhir, pada periode Juli 2023-Juni 2024.
Salah satu penyebabnya adalah proses penyelidikan yang tidak transparan dan sering kali mengabaikan asas praduga tak bersalah.
Dalam kasus ini, indikasi pelanggaran kode etik oleh penyidik juga menjadi perhatian.
Komisi III DPR RI menduga ada kelalaian atau bahkan upaya pengaburan fakta dalam penanganan kasus YS.
Mereka menyoroti bagaimana laporan awal yang menunjukkan ADW dan KDY sebagai korban justru berbalik menjadi tuduhan terhadap YS.
Upaya Mendakapatkan Keadilan
Komisi III DPR RI berkomitmen untuk mengawal kasus ini hingga tuntas.
Mereka mendesak Kapolda Jawa Tengah untuk menindaklanjuti laporan nomor STB/391/X/2017/Reskrim tertanggal 3 Oktober 2017.
Selain itu, mereka juga membawa kasus ini ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memastikan keluarga YS mendapatkan perlindungan hukum yang layak.
Baca Juga: LPSK Sebut Permohonan Perlindungan Korban Kekerasan Seksual Meningkat, Termasuk Kasus Agus
Dalam konteks hukum, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan landasan penting dalam menangani kasus salah tangkap.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juga menegaskan pentingnya perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, termasuk memastikan pelaporan dan penyelidikan dilakukan secara transparan dan adil.
“Ini bukan hanya tentang satu keluarga, tetapi tentang bagaimana negara melindungi warganya dari kejahatan dan memastikan pelaku mendapatkan hukuman setimpal,” ujar Habiburokhman.
Kawan Puan, kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya reformasi dalam sistem penegakan hukum, khususnya dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Proses hukum yang adil dan transparan adalah hak setiap warga negara, terutama korban kekerasan seksual yang kerap menghadapi stigma dan hambatan besar dalam mencari keadilan.
Sebagai perempuan, kita memiliki peran penting untuk terus menyuarakan perlindungan hukum yang lebih baik bagi korban kekerasan.
(*)
Ken Devina