Wakil Ketua MK menyatakan, "Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold), berapa pun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945."
Selain itu, MK menyoroti bahwa sistem presidential threshold selama ini menyebabkan dominasi oleh partai politik tertentu dalam Pilpres, yang berakibat terbatasnya hak konstitusional pemilih untuk memperoleh pilihan pasangan calon yang memadai.
Bahkan, MK mengkhawatirkan kecenderungan hanya munculnya dua pasangan calon dalam Pilpres yang dapat memicu polarisasi tajam di masyarakat.
Dampak Terhadap Kesempatan Perempuan
Dengan dihapusnya presidential threshold, bisa dibilang bakal lebih banyak partai politik yang memiliki peluang untuk mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden tanpa harus membentuk koalisi besar.
Hal ini membuka kemungkinan bagi munculnya lebih banyak calon alternatif, termasuk calon perempuan.
Selama ini, keterbatasan jumlah pasangan calon yang maju dalam Pilpres kerap menjadi hambatan bagi perempuan untuk tampil sebagai kandidat presiden.
Dominasi partai besar dan koalisi yang kuat sering kali hanya memberikan ruang bagi kandidat yang dianggap memiliki elektabilitas tinggi berdasarkan pertimbangan politik tradisional.
Dengan aturan baru ini, partai-partai yang lebih kecil memiliki kesempatan untuk mengusung calon presiden sendiri, sehingga perempuan yang memiliki rekam jejak baik di dunia politik dan pemerintahan bisa lebih mudah mencalonkan diri.