Parapuan.co - Human trafficking atau perdagangan manusia merupakan salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang paling mengkhawatirkan di dunia.
Bahkan, di Indonesia sendiri kasus perdagangan manusia masih sangat rentan terjadi.
Di awal tahun 2025, pratik perdagangan manusia ditemukan di Kota Batu, Jawa Timur.
Praktik keji ini terbongkar atas kecurigaan warga sekitar terhadap perempuan berinisial DFS (26) yang tiba-tiba memiliki anak.
Polisi yang mengetahui informasi tersebut kemudian langsung melakukan penyelidikan.
Benar saja, DFS rupanya membeli bayi berjenis kelamin laki-laki yang diperkirakan berusia tujuh hari melalui akun Facebook.
Bayi tersebut dibeli pelaku dengan harga Rp19 juta ke rekening pelaku human trafficking lainnya, AS (32).
Diketahui, para pelaku pembeli bayi di Kota Baru ini berperan sebagai perantara.
Ketika ada ibu yang baru melahirkan bayi dengan kondisi tidak mampu, ditawarkan anaknya untuk diadopsi ke orang tua yang lain.
Baca Juga: Alami Kekerasan Seksual Saat Jadi TKI Ilegal, Ini Kisah Maizidah Salas
Usut punya usut, pelaku perdagangan bayi ini telah melancarkan aksinya sebanyak lima kali sejak Oktober 2024.
Hingga saat ini, pihak Kepolisian Resor Kota Baru telah menetapkan enam tersangka atas kasus tersebut.
Enam tersangka itu adalah DFS (26), pembeli bayi asal Kelurahan Songgokerto, Kota Batu, AS (32) dan AI (45) asal Waru, Kabupaten Sidoarjo, sebagai penjual bayi, MK (45) asal Kabupaten Sidoarjo dan RS (21) asal Kabupaten Nganjuk sebagai sopir, serta KK (46) asal Jakarta Utara sebagai pencari bayi dari ibu kandung untuk dijual.
Dari kasus perdagangan bayi yang terjadi di Kota Batu, muncul pertanyaan mengapa orang tua tega menjual anaknya?
Kemiskinan Jadi Faktor Pemicu
Menurut Soeprapto, pakar kriminologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), sindikat penjualan bayi dapat dipicu oleh berbagai faktor, termasuk kebutuhan ekonomi mendesak dan ketidaksiapan orang tua dalam mengurus anak.
"Kasus seperti ini sering kali terkait dengan kondisi ekonomi yang mendesak, dimana orang tua merasa tidak mampu membesarkan anak dan melihat penjualan bayi sebagai solusi cepat untuk mendapatkan uang," ujar Soeprapto dikutip dari laman RRI.
Fenomena human trafficking, terutama yang menjadikan anak atau bayi sebagai korban, dipicu karena faktor ekonomi.
Baca Juga: Maizidah Salas, Penyintas Human Trafficking Pendiri Kampung Buruh Migran
Dalam situasi di mana keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, orang tua memilih untuk menjual anaknya.
Ketika melakukan praktik ini, orang tua beranggapan jika si anak bisa mendapatkan hidup yang lebih baik jika 'diadopsi' oleh orang lain.
Dari kasus inilah kita seharusnya sadar bahwa memiliki anak dibutuhkan bukan hanya kesiapan fisik, tapi juga finansial hingga mental.
Maka seharusnya, kita tidak hanya asal memiliki anak, tapi juga perlu memastikan kesejahteraan buah hati terjamin di masa depan. Karena jika tidak, masa depan anak akan terancam.
Di sisi lain, bisa juga orang tua pelaku human trafficking tidak mengetahui bahwa praktik penjualan anak ini merupakan sebuah pelanggaran hak asasi manusia.
Bukan hanya persoalan ekonomi, praktik human trafficking juga bisa dipicu karena lemahnya kebijakan dan hukum.
Lemahnya penegakan hukum terkait perdagangan manusia - terutama anak-anak - serta minimnya dukungan untuk korban, membuat masalah ini semakin sulit diatasi.
Kasus Human Trafficking Sulit Diberantas
Soeprapto menjelaskan bahwa kasus perdagangan bayi merupakan masalah yang kompleks.
Baca Juga: Cerita Penyintas Human Trafficking Soal Sisi Gelap Proses Perekrutan Buruh Migran
Diperlukan upaya yang kuat dalam memberantas kejahatan tersebut.
Pemberantasan sindikat penjualan bayi ini memerlukan pendekatan yang holistik, melibatkan hukum, edukasi masyarakat, serta peningkatan pengawasan sosial dan digital.
"Pengawasan sosial perlu diperkuat di mana masyarakat harus lebih peka terhadap kehamilan di lingkungan sekitar mereka dan melaporkan jika ada tanda-tanda mencurigakan" jelasnya.
(*)